Delapan Puisi Eksistensialis


Oleh: Genri Finaldy

Semusim Menjadi Seorang Manusia

Ya. Kemarin, jam merendam kawanan burung yang menyanyikan lagu paling berisik dari keheningan. Terdengar euphonic, tapi menyedihkan.Karena nada-nada itu;segera menjadi kata-kata di dunia seperti rintik hujan yang jatuh, lalu bergema di sumur-sumur omong kosong. Takdir selalu tidak peduli: seperti ketika aku lahir, kemudian dikutuk menjadi sangkar burung—yang mendambakan seekor burung seumur hidup. Demi berjaga-jaga, demi menjawab pertanyaan tentang esensi.

(2021) 


Kesepian yang Paling Sepi

Ketika seorang penyendiri berada di kesepian yang paling sepi, mereka meninggalkan kekosongan dan pilihan—bertendensi lebih mudah: berbicara lebih sedikit, merasakan kehampaan, mencium bau kesia-siaan, untuk mendengar dan melihat apa-apa, rupanya kehilangan makna dalam segala sesuatu yang muncul di wajah kelopak bunga yang terbakar;untuk bersembunyi dan mencari di dalam setiap bait puisi paling cemerlang di alam semesta fana yang sangat luas, paling gelap, acak, absurd dan berhati dingin ini.

(2021)


Pinata

"Apakah kau pinata yang hancur? Karena dulu kau dipenuhi dengan begitu banyak rasa manis—tetapi kini kau hancur oleh kepahitan yang tak diketahui. Kau telah mengajariku untuk tertawa. Apakah kau lupa atau berusaha amnesia? Bahwa kau memberiku jejak untuk mengeja cinta-kasih.Untuk memaafkan semua takdir tanpa penyesalan. Untuk menjalani setiap inci kehidupan di setiap pandangan. Takkan menyerah tanpa perlawanan. Seperti matahari paling terang di tata surya. Lagu paling keras di dunia yang bising ini. Oh, kataku. Tapi lihat, lihatlah: dari luar kau adalah pria terhebat, sekarang kau hanyalah kevakuman yang dalam. Yang perlahan berubah menjadi penyesalan terburuk,"kata tongkat yang menghancurkan pinata tanpa ampun dan bagian terburuknya, tanpa menyadarinya.

(2021) 


Krisis Eksistensial

Di pagi hari, meja lapuk dengan sabar menunggu kursi di ruang makan. Pada siang hari, palu bersiap untuk menghadapi kehadiran paku yang berkarat. Di sore hari, tirai lusuh menutupi jendela sebelum malam memasang malapetaka.

Di malam hari, tepat ketika hari ingin berganti kemudi, tiba-tiba aku ditarik keluar dari rahim ibuku—tanpa sempat bertanya pada otaknya: "Bu, mana yang lebih dulu, esensi atau eksistensi?"

(Bogor, 27 Maret 2000)


Nihilisme Eksistensial

Segala sesuatu yang tak kita pedulikan, lagi, perlahan berubah menjadi hal yang tak berarti: kubis yang bau di tempat pembuangan limbah; kaleng yang remuk di tempat sampah; gaya baru yang sudah kuno; pesolek yang tak dapat menemukan bel di lain pintu; pintu retak di tengah rumah rusak; keset yang dibuat dari kain jelek; kebohongan mulia dalam tabel waktu; bom waktu yang sudah meledak; pejalan kaki yang meninggal kemarin; peta jalan yang memetakan jalan keluar; seorang pendiam yang bunuh diri seperti bunga layu di pinggir jalan; seseorang yang selalu kupikirkan, yang berubah menjadi dinding dalam dongeng kecil Kafka.

(2021)


Perulangan Abadi

Kami berbaring lalu menatap konstelasi.

Tapi tidak, bintang-bintang

yang melihat kami. Kami tahu

manusia lebih menderita

dalam imajinasi daripada

dalam apa yang nyata.

Jadi, kami tinggalkan masa lalu

sendirian bersama kenangan.

Tapi kami terlalu sering berada

dalam hubungan jarak jauh

dengan kenyataan. Seperti bintang,

kami terlalu jauh

dari keadaan yang sebenarnya.


Saat kami melihat bintang,

kami benar-benar melihat

kuburan bintang; dahulu kala.

Jadi, kami akan pergi ke masa depan.

Untuk memastikan, kami akan

menggunakan mesin penjelajah waktu.

Tapi sayang, kami hanya menemukan

kulit satu sama lain. Surat di pemakaman

kami, pemakaman lain, yang hanyut

menuju kekosongan tak berujung—kesengsaraan. Tergenang; terulang lagi,

lagi dan lagi. Tanpa akhir, siklus.

Bintang mati dengan sinis memberi

tahu kami hal yang mengerikan:

"Kalian berdua membutuhkan Amorfati!"

 (2021) 


Pertemuan dengan Nietzsche

Kau mungkin merasa hampa,

setidaknya kau masih memiliki

ruang di dalam

: setengah untuk air mata pahit tuhan,

setengah untuk nasib kejatuhan setan,

sepenuhnya untuk gravitasimu

untuk jatuh cinta dengan takdir ini—

ciptakan makna yang tak terkalahkan

untuk dirimu sendiri. 

(2021)


Fatum Brutum Amorfati

Dia mendorong batunya dari zaman batu—sampai sedingin batu. Tua dan menyedihkan; sedang pikirannya hanya untuk kebahagiaan. Menyingkirkan absurditas, melalui alfa sampai ke omega. O, nasib menyedihkan yang tak bisa dipudarkan kematian. Musim berganti, tapi Sisifus selalu berakhir buntu. Tak berganti; tak peduli bagaimana, seperti Notasi Sigma. Tak ada jalan keluar atau tanpa istirahat barang sebentar. Waktu demi waktu, waktu pun habis. Dia sangat marah. Namun masih bergandengan tangan dengan menyerah.

Penuh keraguan, dia merasa dikalahkan hidup. Tiba-tiba ada ketukan kecil di dalam hatinya—dia menemukan yang mahakuasa tersenyum padanya, lalu dia ingin mendorong batunya lagi dan lagi karena pada akhirnya dia tahu: perjuangan menuju puncak itu sendiri sudah cukup untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya dan tekanan untuk bahagia terlalu tak bahagia daripada mendorong batu sialan, lagi dan lebih lagi dalam kekekalan.

(2021)

Post a Comment