Absurditas Camus

Absurditas Camus

Oleh Jesus Anam

Pertanyaan mendasar dalam filsafat yang pernah diajukan oleh Albert Camus adalah "Haruskah saya bunuh diri?" Para filsuf tua Yunani, para teolog, dan para ideolog revolusioner pasti tidak suka dengan pernyataan seperti ini. Namun, pernyataan filsafati tersebut memiliki dasar yang kuat. Saya ingin sedikit mengelaborasi pemikiran Albert Camus tentang absurditas. Pemikirannya tentang hal itu tertuang dalam esai filsafatnya yang berjudul The Myth of Sisyphus (Mitos Sisifus).

Saya membaca Albert Camus sejak masih sangat muda. Bahkan, seingat saya, buku filsafat yang pertama kali saya baca adalah buku karya Camus. Setelah itu, baru buku karya Nietzsche. Dua filsuf aneh tersebut banyak memengaruhi pemikiran dan praksis hidup saya: mereka menggiring saya ke tepi jurang absurdisme.

Ada banyak hal yang secara spontan sering kita anggap absurd: lelucon tidak lucu, kata-kata cinta yang keterlaluan, atau harga makanan restoran mewah yang tidak masuk akal. Akan tetapi, bukan hal-hal seperti itu yang Camus maksudkan dengan "absurd". Bagi Camus, absurd berasal dari kombinasi dua hal: “cara kita menginginkan sebuah dunia untuk menjadi” dan “bagaimana dunia yang sebenarnya”.

Tentang bagaimana kita menginginkan sebuah dunia untuk “menjadi”, tampaknya sudah menjadi bagian dari sifat manusia, bahwa kita memiliki rasa keadilan dan kejujuran, dan oleh karena itu kita ingin dunia menjadi adil dan jujur: kita ingin kejahatan dihukum dan kebajikan dihargai.

Kita juga ingin memahami mengapa hal-hal buruk terjadi pada orang-orang baik, mengapa hal-hal baik terjadi pada orang-orang jahat, mengapa kita ada di sini, ke mana kita pergi, dan apa artinya semua itu.

Namun, mengenai bagaimana keadaan yang sebenarnya, kejahatan tidak dihukum, perbuatan baik sering kali tidak dihargai, hal baik terjadi pada orang jahat, hal buruk terjadi pada orang baik, dan kita tidak memahami semua itu. Menurut Camus, ternyata kita tidak dapat memahami apa yang ingin kita pahami.

Doktrin absurd Camus ini kemudian memiliki aspek metafisik dan epistemologis. Sebagai tesis metafisik, absurd adalah konfrontasi antara pikiran manusia dan alam semesta yang acuh tak acuh: yang ada adalah "pikiran yang menginginkan dan dunia yang mengecewakan". Sebagai tesis epistemologis, absurd menyoroti keinginan kita untuk memahami dan batasan mendasar dari pengetahuan kita.

Setelah mendiagnosis masalah manusia secara esensial, Camus mengalihkan minatnya pada prognosis, menentukan bagaimana cara hidup di hadapan yang absurd.

Mitos Sisifus—terutama sekali—adalah kritik terhadap eksistensialisme, khususnya upaya dari para pemikir seperti Kierkegaard, Jaspers, dan Heidegger untuk mengatasi yang absurd dengan memohon kepada Tuhan atau sesuatu yang transenden.

Pemikir-pemikir ini, menurut Camus, kontradiktif dengan anggapan bahwa hidup itu tidak masuk akal dalam beberapa hal, tetapi mengusulkan solusi bagi yang absurd ini, agar kehidupan tidak benar-benar absurd.

Sebagai contoh, Kierkegaard melihat kehidupan sebagai sesuatu yang sangat absurd, karena ketiadaan nilai. Kemudian Kierkegaard mengusulkan agar kita mengambil "lompatan iman", dengan alasan bahwa kepercayaan kita kepada Tuhan akan memberikan makna hidup.

Camus menentang bentuk pelarian semacam ini, dengan mengklaim bahwa para eksistensialis “mendewakan sesuatu yang telah menghancurkan mereka dan menemukan alasan untuk berharap pada apa yang telah memiskinkan mereka”.

Camus menolak memohon kepada yang transenden; bagi Camus, absurd—“perceraian" antara kita dan dunia—merepresentasikan kondisi manusia yang tak terhindarkan. Seperti yang kita lihat, sebagai pengganti harapan palsu religiusitas, Camus menyarankan kesadaran yang jelas tentang yang absurd itu, dan apa bentuk pemberontakannya.

Dalam mitologi Yunani, seseorang yang bernama Sisifus dikutuk oleh para dewa dengan tugas sia-sia, yaitu mendorong sebongkah batu besar ke atas gunung, hanya untuk menonton batu tersebut berguling kembali ke bawah, dan Sisifus mengulangi tugasnya lagi, selamanya.

Mitos tentang Sisifus, kata Camus, menggambarkan kesia-siaan (absurditas) yang kita hadapi dalam kehidupan kita sendiri. Camus mengamati bahwa kehidupan seseorang pada dasarnya adalah aktivitas rutin biasa: dimulai dari bangun pagi, lalu berangkat kerja, selesai kerja pulang ke rumah, setelah itu istirahat, kemudian bagun pagi lagi; rutinitas yang membosankan.

Namun, bagi Camus, Sisifus tidak harus dikasihani. Sisifus mewakili "pahlawan absurd", karena ia memilih untuk hidup di hadapan absurditas. "Memilih untuk hidup" ini adalah masalah kesadaran, karena melalui sikap dan pandangannya, Sisifus sebenarnya dapat membebaskan diri dari hukumannya tersebut.

Sisifus menyadari sepenuhnya hukumannya itu: ia sepenuhnya sadar akan nasib yang dibebankan padanya oleh para dewa dan kesia-siaan eksistensinya. Akan tetapi, hasrat, kebebasan, dan pemberontakannya membuatnya lebih kuat dari hukuman yang dimaksudkan untuk menghancurkannya.

Meskipun mungkin tampak aneh, Camus menunjukkan bahwa Sisifus bahagia. Sisifus menemukan sukacita dalam keberadaannya. Mungkin pendakian menjadi lebih nyaman dari waktu ke waktu: mungkin otot-otot yang dulu tegang di bawah beban batu, kini dengan mudah dapat mengendalikannya; bisa dibayangkan, batu itu bergerak sangat anggun ke atas sehingga tindakan memindahkan batu besar ke atas gunung menjadi sebuah karya seni.

Melalui kebebasannya, Sisifus memberontak melawan para dewa dan menolak kesia-siaan hukuman dari mereka dengan sadar dan hasrat. Batu, gunung, langit, dan tanah adalah miliknya, dan juga dunianya. Sisifus tidak memiliki harapan untuk mengubah kondisinya, tetapi, bagaimanapun, ia menggunakan semua kemampuan yang tersedia padanya.

"Haruskah saya bunuh diri?" Dengan tegas dijawab oleh Camus: “Tidak!” Meskipun hidup ini terasa absurd, kata Camus, kita harus bertahan dalam menghadapinya. Hidup akan terasa bernilai dan artistik jika kita mampu bertahan di kehidupan yang membosankan ini.

Post a Comment