Merdeka Untuk Bahagia

 


Oleh: Stevhany Christina

“Kita tidak bisa memilih situasi kita, tetapi kita selalu bias menentukan sikap atas situasi yang sedang dialami”—Filosofi Teras, Henry Manampiring.

Merdeka. Kemerdekaan. Memerdekakan. Pemerdeka. Semerdeka-merdekanya. Kata-kata yang cukup sering kita dengar maupun baca dan selalu dirayakan saat 17 Agustus yang merupakan perayaan kemerdekaan Indonesia. Namun, apa pengertian kemerdekaan itu sendiri? Menurut KBBI Merdeka adalah bebas (dari penghambaan, penjajah, dan sebagainya), tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa; bebas merdeka (dapat berbuat sekehendak hatinya).

Setelah mengetahui pengertian dari merdeka apakah kita sendiri telah merasa merdeka? Apakah di sekitar kita, khususnya orang terdekat kita telah merasa merdeka?

Salah satu pahlawan Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan untuk kesetaraan gender adalah R. A. Kartini. Pada zaman itu perempuan tidak lebih dari mesin penghasil anak. Kesempatan untuk sekedar mendapatkan pendidikan sangatlah sulit, bahkan bermimpi untuk memiliki merdeka dalam diri merupakan mimpi yang mustahil. Gebrakan yang dimulai dengan sangat berani oleh R.A. Kartini telah membantu bangsa kita untuk menggapai keberanian dalam memperjuangkan merdeka untuk perempuan.

Perjuangan R.A. Kartini tentu belum usai, mungkin kita merasa atau melihat orang di sekitar kita telah merdeka. Namun, di media sosial kita menemukan pengkotakan bahwa gender perempuan identik dengan harus melahirkan, bahwa gender lelaki harus maskulin dan tidak boleh menangis, perempuan harus feminim dan ketika menggunakan pakaian terbuka akan dicap “buruk”. Penilaian seperti ini berkembang pesat dan menjadi budaya di tengah masyarakat, sedangkan parameter dalam penilaian tersebut tidaklah jelas.

Stigma menghasilkan kontruksi sosial yang mengharuskan gender perempuan harus A dan gender laki-laki harus B. Jika tidak sesuai dengan konstruksi sosial, tentu akan banyak sekali tanggapan. Mulai dari tanggapan positif yang mengatakan kita adalah jiwa yang telah merdeka sampai tanggapan negatif yang mengatakan itu aneh karena berbeda dari masyarakat pada umumnya.

Bagaimana cara kita untuk mendapatkan merdeka untuk bahagia? Tentunya, kita ingin merdeka dengan diri kita. Akan tetapi, mendapatkan respons yang tidak kita sukai akan menganggu, bukan?

Di dalam buku How to Die karya Seneca, Stoa mengajarkan kepada pengikutnya untuk mencari kerajaan dalam diri sendiri, kerajaan akal budi, tempat kesetiaan pada kebeneran dan pemahaman tentang alam yang mampu mendatangkan kebahagiaan bahkan bagi para budak yang tertindas, orang buangan, atau tawanan yang tersiksa.

Kita tentunya tidak akan bisa mengendalikan respons orang terhadap kita. Namun, kita dapat mengatur respons diri kita saat mendapatkan komentar yang tidak kita sukai. Kita punya pilihan untuk marah, untuk berterimakasih, dan untuk diam sejenak sebelum memberikan respons. Hal ini tentunya akan membantu kita dalam mendapatkan kebahagiaan dalam merdeka kita. Hal ini pun sejalan dengan pengertian merdeka itu sendiri. Memberikan kita kesempatan sebebasnya dalam merespon.

Dalam buku itu juga, Seneca masih belum yakin tentang kehidupan setelah kematian, dia dengan amat pasti tidak merasa perlu takut akan gambaran monster dan siksaan di afterlife yang disebarluaskan oleh pujangga yang tentunya merupakan dongeng belaka. Seolah-seolah masih ada kesempatan setelah kematian, padahal dalam sains, kematian itu sendiri sama seperti pada saat kita belum lahir. Jika kita pikirkan apa persamaan saat kita mati dan tidak pernah lahir? Jawabannya adalah keduanya sama-sama kita tidak pernah ada.

Ketika kita menyadari bahwa kematian merupakan kepastian yang akan kita alami, bukankah seharusnya kita menikmati dan menggunakan hidup ini dengan sebaik mungkin? Mempersiapkan kematian kita dengan yang terbaik, hingga nanti saat waktunya tiba tidak akan ada penyesalan. Mati dengan tenang. Mati dengan bahagia. Kemerdekaan yang sejati.

Apa gunanya memiliki hidup yang panjang, tetapi tak merasa cukup? Tak merasa bahagia? Bukankah seharusnya kita fokus dengan hidup yang berkualitas yang memberikan kebermaknaan dengan hidup kita. Menjadi diri sendiri, berani untuk melawan konstruksi sosial yang tidak relevan lagi, bahkan mendobrak stigma dan pengkotakan mengenai gender.

Henry Manampiring dalam bukunya Filosofi Teras mengatakan bahwa setiap harinya kita hidup dengan berperang. Saat keluar rumah kita akan berperang melawan macet, yang terkadang membuat emosi memuncak, ditambah kegiatan yang seringkali memaksa pikiran kita berperang mengenai pilihan yang akan kita ambil, belum lagi media sosial yang membombardir mengenai perang para politisi, kaum intelektual yang berbeda pendapat, iklan-iklan, dan segala keributan lainnya. Tentunya, banyak yang merasa kehidupan sudah cukup berat untuk berperang melawan stigma di tengah masyarakat.

Namun, bagaimana kita bisa mengatakan itu hidup jika kita sendiri tak merasakan rasa bahagia dalam menjalaninya? Tidak merasa damai? Kita tidak akan bisa mengubah budaya yang dipercayai masyarakat dengan mudah, kita bisa mulai dengan menjadi contoh menunjukkan kemerdekaan di tengah masyarakat. Namun, dalam perjalanannya tentu akan banyak rintangan, salah satunya cibiran karena berbeda dari budaya dan pasti akan berdampak kepada kita. Di sinilah peran Stoisisme, bahwa bukan kebahagiaan yang menjadi tujuan utama, melainkan dapat mengendalikan emosi negatif serta hidup dalam kebajikan dalam menanggapi banyaknya peperangan yang selalu hadir di dalam hidup kita. Pada dasarnya perasaan damai dan bahagia ini kokoh dan berakar di dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur, atau direnggut dari kita.

Seperti yang Seneca maksud, kita seharusnya berupaya keras untuk mencapai kepuasan hidup. Tidak ada perjalanan tanpa titik akhir, begitu juga dengan kehidupan ini. Tubuh biologis kita akan tiba menjadi menua. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk fokus pada hari ini, kendalikan emosi dan pikiran untuk terus menjadi merdeka, perjuangan kesetaraan memang merupakan hal yang berat untuk sampai menuju merdeka. Ingatlah bahwa ini adalah perjuangan yang terhormat, mungkin bukan bagi orang lain, tapi bagi yang ingin merdeka.

Post a Comment