Aku Melangkahkan Kaki untuk Negeri [PUISI]


Oleh Ferdi Ate


Kulangkahkan kaki menuju ke kota

Kujumpai hiruk pikuk kota

Kutelisik segala macam perbedaan pada awal jejak;

Aku muak!

Kuamati tiap kaki dan sibuknya orang-orang di kota Jakarta serta berbagai macam penjuru tempat Dari pelbagai aktivitas berkiblat.

Salam—salam ...

Aku datang melangkahkan kaki 'tuk menjala ilmu; meraba-raba sisi kepala kota.


Kulangkahkan kaki menuju keramaian kota elit kota dari kulit-kulit jas penguasa serta lidah-lidah dasi pemerintahan.

Kulangkahkan kaki di sini, aku belajar banyak hal, juga sedikit kekecewaan.

Aku melangkah sambil menikmati pemandangan kota yang begitu megah dan berkilau. 

Kulangkahkan kaki seolah berada di atas surga-surganya para dewa.


Kulangkahkan kaki sambil merongrong ke arah datangnya suara-suara [bisingan] teknologi canggih dan mesin pabrik di mana-mana.

Aku dan kakiku menganga, menikmati indahnya kaum miskin dijadikan alat permainan para elit politikan yang beradu domba.

Aku dan kakiku pergi melihat situasi kota seperti lembah jurang kematian.

Kulangkahkan kaki yang mulai letih di negeri pertarungan hitam—putih.

Kulangkahkan kaki di atas dilemanya napas terengah-engah:

"oh … negeriku Indonesia  tengah bercanda dengan berduka cita."


Kumelangkah pada cerita petani dari ladang ke ladang menjadi sorotan publik dan media, seakan tak acuh untuk diperhatikan.

Kulangkahkan kaki pada jenuh yang nikmat:

"oh … Indonesiaku yang miskin sedang mengadopsi demokrasi berbusana kriminalisasi dan rasialis di mana-mana, serta korupsi yang mengindahkan bumi Pertiwi."

Aku ingin mati tercekik malu atas tanah kelahiranku.


Kulangkahkan kaki menuju jeritan rakyat tertindas yang meronta-ronta atas tumpulnya hukum di negeri ini.

Kulangkahkan kepalaku dari kejinya politisasi beraroma bangkai yang tengah mekar-mekarnya wewangian neraka itu berjaya atas masyarakat kecil.

Aku muak dan ingin mati sebelum menjadi orang lain di atas tanah ini:

"Tanah yang membuat letih tiap tungkai kaki, yang membuat jijik pada tiap batin, tapi selalu kucintai dengan penuh kasih, juga seribu tangis."

Aku hangus terbakar merahnya kobaran dendam, lalu tenggelam dalam putihnya para pembunuh bernuansa suci

Berbusana dewa-dewi yang tak punya ampun terhadap anak-anak negeri

Anak-anak Ibu Pertiwi;

Anak-anaknya darah Merah—Putih.




Post a Comment