Drama Politik KPK

Foto: Kompas.com

Oleh Jesus Anam

Hadirnya KPK, sebagai institusi pemberantasan korupsi, sebenarnya, tidak diinginkan oleh sebagian besar elemen penguasa. Oleh sebab itu, sejalan dengan perubahan-perubahan kepentingan, institusi prestisius ini pun akan dilemahkan.

Hari ini, melihat drama dan kisruh di KPK, saya seperti sedang menonton pementasan drama-drama tragedi karya Shakespeare. Drama politik yang dimainkan oleh para aktor berpengalaman ini sangat menegangkan. Bahkan, lebih jauh, mirip sekali dengan pertunjukan tarian striptis, yakni para penari akan melepas kain penutup tubuhnya satu per satu. Dalam teori tentang panggung pementasan, pementasan yang berhasil adalah pementasan yang mampu menyuguhkan ketegangan-ketegangan.

Pementasan drama politik di KPK ini, sebagai analogi, rasanya sangat mirip dengan pementasan drama tragedi karya Shakespeare yang berjudul Othello, the Moor of Venice. Drama tersebut berhasil menampilkan ketegangan-ketegangan, yaitu tentang benci dan kecemburuan. Bagian yang paling menegangkan adalah fase komplikasi, di situ terdapat adegan-adegan yang penuh dengan aksi konspirasi.

Setelah itu, terdapat ketegangan yang semakin membesar, ketegangan puncak, atau kesimpulan. Pada fase ini, semuanya telah menjadi jelas. Kekuatan-kekuatan yang sedang berkepentingan mulai menunjukkan batang hidungnya. Konspirasi-konspirasi pun akhirnya terkuak. Lalu penonton secara serentak bergumam, “Oh, ternyata begitu!”

Jika di era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) institusi pemberantasan korupsi diposisikan sebagai sekadar institusi tambahan, di era sekarang institusi tersebut terlempar ke posisi yang lebih rendah, seperti institusi-institusi hukum yang lain, hanya sebagai institusi kamuflase.

Di era Orla, institusi pemberantasan korupsi, waktu itu bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), yang dimotori oleh A.H. Nasution dan gengnya, pemberantasan korupsinya diarahkan kepada para pejabat korup di lingkungan Presiden Soekarno, perusahaan-perusahaan negara, dan lembaga-lembaga negara. Namun, “KPK” di era Orla itu akhirnya tidak berdaya menghadapi resistensi dari Pertamina, yang di dalamnya berisikan orang-orang kuat yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno.

Di era Orba lain lagi. Pada awal Orba, Pak Harto mengkritik ketidakmampuan Orla dalam pemberantasan korupsi. Kemudian Pak Harto, dengan sikap garang, membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Akan tetapi, lagi-lagi, rakyat hanya disuguhi ucapan kosong dari sang demagog ulung itu, Jendral Soeharto.

Ketika terdapat temuan korupsi di Pertamina, misalnya, Pemerintahan Soeharto sama sekali tidak menggubrisnya. Jawabannya sudah jelas, karena para koruptor itu adalah orang-orang yang berada di lingkaran Presiden. Fakta di era Orba ini menegaskan bahwa Pak Harto hanya ingin memberantas para koruptor liar, bukan memberantas para koruptor binaannya. Lalu di era sekarang bagaimana?

Institusi pemberantasan korupsi, yang selanjutnya disebut KPK, di era pasca Orba, mengalami degradasi peran pada pemerintahan SBY. KPK hanya sebagai ajang pencitraan belaka, untuk meredam kegusaran rakyat akan maraknya korupsi. Namun, KPK di era SBY masih lebih baik dibanding era sekarang—meskipun praktik pemberantasannya masih “tebang pilih”.

Di era sekarang, era Jokowi, bisa dibilang, adalah akhir dari KPK. Sekarang KPK tidak lagi dikendalikan oleh satu kekuatan yang terhimpun di dalam Negara, tetapi oleh banyak kekuatan dan kepentingan; tidak hanya oleh kelompok yang, secara definitif, sedang berkuasa, tetapi juga oleh kelompok kekuatan yang eksternal dari Negara.

Kesimpulan saya di atas, mengenai melemahnya KPK, memang, sepertinya tidak selaras dengan fakta, karena beberapa waktu terakhir ini kita disuguhi banyak adegan dramatis dengan ditangkapnya para koruptor kelas kakap. Dialektika materialis telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memahami struktur rumit dari proses sejarah, karena gerak sejarah, yang di dalamnya terdapat konflik antar kelas dan antar kepentingan, bukanlah cetakan statis dari suatu realitas.

Hari ini, dengan cepat, kita disuguhi peristiwa-peristiwa yang berbeda dari kemarin: ada kisruh di internal KPK; puluhan pegawai dipecat dengan alasan yang tidak proporsional; apakah kira-kira di antara mereka ada orang-orang yang berbahaya, yang mampu mengungkap para koruptor besar?

Perubahan-perubahan peristiwa ini, tentunya, secara dialektis, disebabkan oleh berubahnya formasi kekuatan-kekuatan dan kepentingan-kepentingan. Degradasi KPK, dapat dikatakan, dimulai dengan adanya kepentingan dari kelompok kekuatan yang terdapat di tubuh PDIP. Tujuannya adalah untuk membungkam tindakan korupsi yang pernah atau sedang dilakukan oleh orang-orang kelompok kekuatan tersebut.

Aksi ini rupanya ditangkap dengan baik oleh rival-rivalnya di tubuh partai lain, yang memiliki kepentingan serupa, baik yang sedang duduk di DPR maupun yang berada di markas partai, yaitu untuk melindungi kelompoknya dari sergapan KPK. Meskipun pada saat Pilpres kemarin mereka saling cakar, tapi untuk urusan perlindungan koruptor, mereka akan bekerja sama.

Akan tetapi, perlu saya perjelas, jika permainan politik ini kembali saya analogikan dengan sebuah pementasan drama, para politikus yang sedang menggerakkan permainan tersebut sebenarnya hanya menempati posisi sebagai sutradara. Lebih tepatnya, mungkin, sutradara kolektif, yakni masih sebagai orang bayaran atau kacung.

Di atasnya, tentu, masih terdapat entitas yang lebih kuat, bahkan sebuah entitas yang paling kuat, yakni pemilik kapital besar: sekelompok orang kuat yang membiayai pementasan. Secara politik, mereka adalah entitas yang menguasai kekuatan ekonomi, politik, dan institusi subordinatnya: hukum. Peran hukum, sebagai institusi yang subordinat dengan ekonomi dan politik, di dalam sistem negara borjuis, bukan untuk menciptakan kondisi yang berkeadilan. Peran hukum adalah sebagai alat untuk melegitimasi kekuatan dan kekuasaan borjuasi.

Heinrich, dalam bukunya yang berjudul Critique of the Gotha Programme berkata bahwa relasi sosial di dalam masyarakat kapitalis dibatasi oleh cakrawala sempit hukum borjuis. Ini mengartikan bahwa segala bentuk hubungan sosial, di dalam masyarakat kapitalis, akan dibatasi oleh batasan hukum borjuis, yang terus-menerus diperbaharui, agar sesuai dengan kepentingan kelompok yang sedang dominan.

Di sini menegaskan bahwa penguasa ekonomi dan politik pada suatu periode, secara bersamaan, adalah penguasa hukum dan, sekaligus, pembaharu hukum—baik hukum perdata, pidana, maupun hukum tata negara. Dalam wilayah hukum tata negara, misalnya, sudah terjadi pergeseran otoritas menyangkut hak prerogatif presiden.

Pengangkatan Kapolri, misalnya, yang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 merupakan hak prerogatif Presiden, kini diganjal oleh kepentingan kekuatan lain melalui UU tentang Kepolisian dan UU tentang TNI yang dirumuskan oleh DPR.

Di sini jelas, tatanan hukum dalam negara modern “demokratis” mensyaratkan keterlibatan semua pihak, dan tentunya, semua pihak yang memiliki kekuatan dan kepentingan. Dari sini kita akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa negara modern “demokratis”, sebagai progres dari sistem ketatanegaraan versi kapitalisme, sejatinya, hanyalah instrumen politik bagi penguasa kapital untuk melanggengkan proses kapitalnya.

Vladimir Ilyich Ulyanov, dalam bukunya yang berjudul State and Revolution, pernah mengatakan, tentang posisi negara secara historis, bahwa negara adalah “kekuatan penindas khusus”. Di dalam konteks negara borjuis, negara adalah alat penindasan dari sekelompok penguasa terhadap rakyat, dari segelintir kaum kaya terhadap jutaan rakyat kelas bawah.

Melemahnya KPK, yang ditandai dengan upaya-upaya kompromi, jika kita pahami berdasarkan pemikiran ini, merupakan desain dari kekuatan-kekuatan politik dominan. Mereka memang tidak hendak menghapus KPK. Mereka hanya melemahkannya, kemudian mengendalikannya untuk kepentingannya.

Jika pada era Orla dan Orba institusi pemberantasan korupsi akan dibubarkan ketika tidak sejalan dengan “penguasa”, tetapi pada era kini, institusi tersebut sangat berguna. Ia bisa dijadikan sebagai alat bagi kelompok-kelompok politik untuk menjegal kelompok-kelompok lawan. Tergantung kelompok mana yang paling kuat.

Konstelasi politik hari ini memang terlihat sangat rumit, karena pemainnya banyak, melibatkan banyak aktor dan sutradara. Kelompok mana yang paling kuat dan sedang mengendalikan situasi sangat susah untuk diidentifikasi.

Namun, di balik konstelasi yang rumit ini, kekuatan dominannya tetap terletak pada penguasa ekonomi dan politik, yaitu para pemilik kapital besar, baik yang berada di struktur Pemerintah maupun yang bersarang di gedung DPR.

Para aktor dan sutradara yang sedang terlihat aktif-atraktif memainkan perannya masing-masing hanyalah orang-orang bayaran belaka; atau, paling tidak, hanyalah orang-orang yang ingin mengambil remah-remah milik kapitalis. Kapitalislah yang menjadi center of gravity dari drama politik ini.




Post a Comment