Metafisika Sebagai Jawaban Filosofis Mengenai yang Transenden



(Metafisika dalam pemikiran Heidegger, Plotinos, Thomas Aquinas, dan Kebatianan Jawa)

Oleh Tindra Matutino Kinasih


Pada dasarnya filsafat mencari pengertian menurut akar yang terdalam. Namun, filsafat tidak mulai dengan menyelidiki dari mana segala sesuatu berasal. Bagi Heidegger, Metafisika adalah Sejarah Ada. Yang dimaksud dengan sejarah Ada di sini adalah bagaimana Ada dipahami dalam sejarah filsafat. Pemahaman mengenai Ada ini, menurut Heidegger, sangat menentukan pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri, dunia, objek-objek, dan sesama manusia.

Dalam metafisika Plotinos terdapat tiga hal mendasar yang menjadi prinsip metafisika, yaitu The One, intelek, dan jiwa. The one merupakan prinsip pertama yang paling sederhana dari semuanya. Dalam metafisika Thomas Aquinas terdapat sebuah batasan kunci bahasa metafisikanya yang terdiri dari “pengada” (ens), “mengada” (esse), dan hakikat atau esensi (essentia).

Metafisika dalam alam Pikir Jawa tertuang pada praktik dan penghayatan kebatinan. Pandangan kebatinan terhadap yang Transenden diwujudkan dalam suatu sikap dan persepsi dasar manusia religius yang menghayati dan memandang Yang Sakral imanen dalam alam dan ritme alam, dan kehidupan manusia terjalin dengan adanya gerak kosmik.

Selayang Pandang tentang Metafiska


Banyak orang melihat metafiska sebagai sebuah ilmu yang mempelajari ilmu tentang “yang gaib” atau juga merupakan sebuah pengetahuan di luar akal sehat. Metafisika bagi orang kebanyakan dianggap sebagai sebuah ilmu yang mempelajari kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran, hati, jiwa, serta semua fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia bisa membangkitkan kinerja semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.

Metafisika digambarkan sebagai sebuah ilmu yang berasal dari kekuatan gaib. Ilmu gaib adalah sebuah ilmu yang menyangkut hal-hal di luar ilmu pengetahuan. Hal inilah yang membangun opini kebanyakan orang yang menganggab bahwa metafisika adalah ilmu yang berasal jauh dari kekuatan ilmu pengetahuan. Maka dari itu, penulis bermaksud memberikan pandangan tentang metafisika dalam sudut pandang intelektual. Hal ini dimaksudkan penulis agar pembaca mempunya perspektif intelektual tentang metafisika, tidak melulu melihat dalm perspektik “gaib”.

Metafisika dalam Pemikiran Heidegger


Metafisika sebagai Sejarah Ada. Yang dimaksud dengan sejarah Ada di sini adalah bagaimana Ada dipahami dalam sejarah filsafat. Pemahaman mengenai Ada ini, menurut Heidegger, sangat menentukan pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri, dunia, objek-objek, dan sesama manusia. Heidegger sendiri mengasalkan segala keburukan zaman modern—perang dan kekerasan, ancaman kehancuran bumi dan ekosistem, penggunaan teknologi yang bahkan telah sampai mengancam kelangsungan spesies manusia itu sendiri, pesimisme dan nihilisme—dari konsepsi mengenai Ada tersebut. Sejarah Ada tampak dalam sejarah manusia itu sendiri karena manusia (dalam istilah Heidegger: Dasein) adalah situs di mana Ada menyingkapkan dirinya.

Heidegger menyebut sejarah Ada itu sebagai metafisika. Metafisika berarti pemikiran dan penentuan identitas atau kebenaran Adanya para pengada sebagai sebuah keseluruhan (the Being of the beings as a whole) dan menganggap identitas itu sebagai sumber dan produser keseluruhan pengada. Kebenaran atau identitas Ada itu muncul dalam sejarah filsafat dengan berbagai nama: Idea (pada Plato), Energeia (Aristoteles), Kesadaran (Descartes), Tuhan (Kekristenan), Roh Absolut (Hegel), atau Kehendak untuk Berkuasa (Nietzsche).

Artinya, konsep-konsep inilah yang dipahami sebagai Ada itu sendiri. Inilah yang kemudian disebut oleh Heidegger dalam frase terkenalnya sebagai “kelupaan akan Ada” (Seinsvergessenheit). Artinya, dalam upaya untuk memahami Ada, para filsuf itu tidak memahami Ada (Das Sein) sebagai Ada, melainkan memahaminya sebagai Pengada (Das Seiende). Konsep-konsep di atas disebut pengada karena ia bukanlah Ada itu sendiri, melainkan hasil konseptualisasi atau representasi pemikiran para filsuf.

Itulah metafisika sebagai sejarah Ada. Dan metafisika, menurut Heidegger, selalu bersifat nihilis. Apakah itu nihilisme? “Nilai-nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri”, jawab Heidegger. Devaluasi di sini bisa dipahami sebagai proses self-destruction, penghancuran diri sendiri, kemerosotan, dekadensi. Dan memang, sama seperti Nietzsche, demikianlah Heidegger melihat keseluruhan sejarah Barat.

Dekadensi atau devaluasi itu bersumber dari kekeliruan dalam memahami Ada itu. Di atas telah dijelaskan bahwa Ada justru dipahami sebagai pengada. Pengada itu dianggap sebagai sumber dan dasar segala pengada. Artinya Ada dan pengada berelasi secara teknologis. Ada itu adalah kreator pengada, sebagaimana Tuhan dipahami sebagai Pencipta.

Menurut Heidegger, relasi seperti ini telah mengandung kekerasan pada dirinya sendiri. Pengada akhirnya dipahami sebagai “milik” atau “objek” yang bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang oleh manusia yang dalam relasi ini memahami dirinya sebagai “pemilik” atau “subyek”. Inilah akar ontologis segala bentuk kekerasan yang kemudian menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Ingatlah misalnya sebuah imperatif kekerasan yang bersifat teologis dalam Kitab Genesis, taklukkan dan kuasailah dunia. Karena itu, menurut Heidegger, metafisika itu setali tiga uang dengan kekerasan (violence), teknologi, dan nihilisme.

Heidegger sendiri tidak memahami relasi Ada-pengada ini dalam kategori teknis-produktif demikian. Menurutnya, terdapat perbedaan ontologis (die ontologische Differenz) antara Ada (Sein) dan pengada (Das Seiende). Ada itu bukanlah pengada, melainkan bahwa pengada memperoleh maknanya berdasarkan iluminasi Ada, atau dengan “berada dalam terang Ada” (in der Lichtung des Seins). Ada itu merupakan semacam “gelanggang cahaya” yang menerangi, mengiluminasi, dan memberi makna kepada semua pengada.

Devaluasi itu juga terjadi karena Ada yang dianggap sebagai sumber dan dasar itu juga dianggap sebagai acuan, ukuran atau kriterium bagi segala pengada. Relasi Ada dan pengada itu membentuk pemikiran yang bertumpu di atas prinsip oposisi biner dengan menganggap nilai yang satu lebih ideal dan utama dibandingkan dengan nilai lainnya. Demikianlah, Plato misalnya menganggap bahwa keseluruhan dunia nyata ini hanyalah mimesis dari dunia Ide, Kekristenan mengatakan bahwa dunia ini fana, tidak bernilai dibandingkan dunia ideal yang abadi di atas sana (“surga” atau Tuhan?), Kesadaran lebih utama dibandingkan ketidaksadaran, rasionalitas lebih utama dibandingkan dengan “irasionalitas”, dan seterusnya. Secara singkat di sini terjadi semacam obsesi metafisis untuk mencapai atau merealisasikan nilai yang dianggap lebih utama atau ideal tersebut.

Intensi utama proyek filsafat Martin Heidegger adalah untuk mempertanyakan dan memikirkan makna Ada secara baru dan konkret. Fenomenologi adalah metode yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Dengan metode ini, Heidegger tidak langsung berbicara mengenai Ada, melainkan lebih dulu meneliti Ada-nya manusia yang bertanya dan menjalankan penelitian mengenai Ada tersebut. Mirip dengan epistemologi Kant yang mengatakan bahwa pengetahuan kita mengenai obyek ditentukan oleh kategori-kategori a priori yang kita miliki, Heidegger berpendapat bahwa pemahaman manusia mengenai Ada ditentukan oleh Adanya manusia itu sendiri, dan juga, dengan mempertanyakan Ada, maka manusia sebenarnya telah memiliki pemahaman tertentu mengenai Ada itu.

Dalam kacamata filsafat, metafisika memberikan arti yang mendalam mengenai pemikiran tentang “ada”. Dalam pandangan Heidegger, metafisika adalah sebuah ilmu yang berpusat pada pencarian “be”. Heidegger juga menanyakan apa yang menjadi esensi dari metafisika. Dalam pengertian metafisika Barat, metafisika didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang mencari sebuah dasar yang membuat kita sadar dari kebenaran yang paling mendasar dan dari dasar itulah kita dihadapkan pada yang Ilahi. Sedangkan dalam metafisika Heidegger, Ia mencari esensi dari metafisika. Untuk itu, Heidegger mengajak mundur ke belakang sebelum Plato. Heidegger ingin mencari “ada” sendiri yang lolos atau sering dilupakan dalam pemikiran metafisika Barat.

Ketika kita membincang metafisika Heidegger, kita akan dihadapkan pada sebuah jurang pembedaan antara “ada” dan “mengada”. “Ada” menurut pendangan Heidegger adalah sebuah sifat yang paling universal atau bisa disebut totalitas, tetapi “ada” ini bukan hanya sebuah totalitas, “ada” dalam pandangan Heidegger ini berupaya untuk melampaui segala totalitas. Kalau boleh saya menerjemahkan “Ada”, ini adalah sebuah daya atau kekuatan yang tak terterangkan, sesuatu yang ketika dipikirkan itu tidak ada, tetapi ketika tidak kita pikirkan itu ada. “Ada’ ini juga menunjukan sesuatu yang transenden. Sedangkan “mengada” adalah semua hal yang dapat kita cerna dapat kita maknai bahwa itu adalah sebuah “mengada”, sebagai contoh meja putih itu, jalan raya, gedung STF Driyarkara, Kota Jakarta, Negara Indonesia, bumi, tata surya.

Dalam usaha menerangkan tentang “ada”, ia berusaha mencari “mengada” yang mampu bertanya tentang “ada”. Binatang, gunung, tata surya, atau rumah adalah “mengada-mengada“ yang muncul begitu saja dan mereka cenderung tidak mencari dari mana asal mereka ataupun menanyakan mengapa mereka sampai ada di sini. Mengada-mengada ini cenderung menghindar dari pertanyaan tentang “ada”. Di sinilah Heidegger memunculkan manusia sebagai “mengada” yang berupaya untuk menanyakan “ada”-nya. Ia memberikan istilah baru bagi manusia yaitu Dasein.

Bagi Heidegger, segala “mengada” itu ada begitu saja. Tidak ada ”mengada” yang dapat menerangkan dari mana adanya dia. Para “mengada” itu muncul begitu saja. Gedung-gedung bangunan tidak akan menyadari dari mana mereka berasal. Anjing rumahan tidak akan pernah ambil pusing tentang keberadaanya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Heidegger menggunakan Dasein sebagai sebagai “mengada” yang berusaha mencari “ada”. Segala “mengada” itu terlempar begitu saja. Dasein menyadari keterlemparan itu, itulah sebabnya Dasein berusaha mencari dan memahami keterlemparannya.

Dalam metafisikanya, Heidegger berpandangan bahwa “mengada-mengada” itu ada karena “ada”. “Mengada-mengada” itu seringkali menyembunyikan “ada”-nya. Bagi Heidegger, sebuah kebenaran itu menyingkapkan sekaligus menyembunyikan. Contonya, ketika kita melihat sebuah fakta tentang adanya pencucian uang dalam kasus Gayus Tambunan. Dalam kacamata metafisikanya Heidegger kita melihat bahwa fakta tentang adanya kasus pencucian uang ini memang sudah terungkap atau sudah tersingkap, namun Heidegger tidak mau berhenti pada penyingkapan kasus pencucian uang saja. Heidegger ingin menggali esensi lebih dalam lagi tentang Pemahaman akan kefaktaan itu, karena fakta itu sendiri masih menyembunyikan seseuatu yang lebih dalam.

Metafisika dalam Pemikiran Plotinos


Dalam metafisika Plotinos terdapat tiga hal mendasar yang menjadi prinsip metafisika yaitu the one, intelek, dan jiwa. The one merupakan prinsip pertama yang paling sederhana dari semuanya. Penyebab bagi dirinya sendiri dan penyebab dari “ada” dari “ada-adaan”. Hal ini berakar dari tradisi prasokratik, yang mencari penjelasan tentang asal mula serta kompleksitas dari yang sederhana. Dalam Teks Plato yang berjudul Republik, the one sejajar dengan “the Idea of the Good”. Walaupun nama “one” dan “Good” ini tak bisa mewakili arti yang sebenarnya.

The One memang tak terungkapkan dengan kata-kata. The one merupakan penyebab terakhir dari segalanya, merupakan sebuah realitas yang paling sederhana, berbeda dan lebih tinggi dari intelek ilahi, dan harus diletakkan melampaui pengetahuan dan diskursus. The one adalah sesuatu yang tak terpahami dan tak terkatakan. Jika dalam Republik Plato mengatakan bahwa forma dari “yang baik” adalah “melampaui being”, namun “being” tetap merupakan sesuatu yang terpahami. Plato masih beranggapan bahwa “the Good” adalah subjek pengetahuan, sedangkan Plotinos beranggapan bahwa ”the one” tidak dapat berfungsi sebagai objek pengetahuan atau diskursus.

The one itu bukanlah “thing", bukan juga sesuatu bentuk Forma yang terbatas. The one adalah sebuah realitas yang ada sebelum Intelek. Oleh karena, itu the one tidak dapat terpahami. Kita tidak dapat menggambarkan the one, tetapi kita dalam beberapa hal dapat mengatakannya. Ketika kita mengatakan tentang the one sebagai penyebab terakhir, kita pada kenyataan membicarakan diri kita sendiri, mengatakan bahwa kita tergantung secara kausal dan mengungkapkan apa yang kita alami dalam situasi tergantung tersebut. Kita mengatakan tentang diri sendiri ketika mengatakan tentang the one. Dengan demikian, the one tetap tak terkatakan meski kita membicarakannya.

Turunan pertama dari the one adalah intelek. Intelek merupakan tempat deretan idea platonik. Sebuah kesatuan yang abadi dan stabil yang menjelaskan kemungkinan asumsi yang dapat dimengerti. Sedangkan jiwa dikaitkan dengan intelek secara analogis dengan relasi intelek dan the one. Plotinos membedakan aktivitas internal dan eksternal. Aktivitas internal yang tak tergambarkan dalam the one adalah sebuah penunjukan keadaan di atas daya intelektual miliknya sendiri, sedangkan aktivitas eksternalnya adalah melulu intelek saja.

Intelek adalah gerakan yang tak dapat diganggu dan tenang, punya segalanya dalam dirinya dan “ada” dari segala sesuatu, sebuah keanekaragaman yang berpadu, adalah apa yang dekat dengan “Yang Pertama”. Walaupun “Yang Pertama” itu berpadu namun “Yang Pertama” itu tidak satu ataupun sederhana. Tetapi “the one” itu sederhana dan dasar dari segala sesuatu. Intelek tidak tersebar dalam dirinya sendiri tapi dalam realitas seluruhnya dengan dirinya dan kedekatannya setelah the one menjaganya dari keterpecahan dirinya, walaupun begitu intelek dapat berdiri sendiri tanpa the one. The one sangat sulit dipahami, akan mudah memahami the one jika melihat dari produknya.

Pada dasarnya seluruh metafisika plotinos berpusat pada the one, yang juga diebut sebagai “Yang baik”. Yang Baik dalam pandangan Plotinos adalah kenyataan atas realitas negatif. Artinya, the one itu tidak dapat dibicarakan, tidak dapat dipikirkan dan tidak bisa diidentifikasikan karena Ia bukan sesuatu atau bukan pula roh. The one adalah the One. Ia tidak memilki atribut apapun. Menurut Plotinos, semua yang ada berasal dari dan menuju pada the one. Ia adalah asal dan tujuan dari segala sesuatu. Maka dalam realitas, seluruhnya terdapat dua gerakan: gerak menurun dan gerak menarik. Gerak menurun disebut “emanasi” dan gerak menarik disebut “remanasi”.

Teori Plotinos yang sangat dikenal sampai sekarang adalah teori “pengalirannya” (emanasi). Teori emanasi ini identik dengan gerak menurun. Artinya, segala yang ada mengalir terus menerus dari kelimpahan “Yang Esa” (The One), namun itu tidak sama sekali mengurangi kesempurnaannya. Proses pengaliran semacam ini dinamakan ”emanasi” dan bisa dianalogikan dengan sumber air yang meluap dan mengalirkan air sungai terus-menerus tanpa ia sendiri bisa kekeringan. Atau: ibarat matahari yang terus menerus memancarkan cahaya, tanpa kehilangan hakikatnya sedikit pun. Dalam proses emanasi (gerak menurun) bisa dibedakan tiga tahapan:

1. Dari the one mengalir akal budi (Nous), yang biasanya disejajarkan dengan ide-ide Plato. Apa aktivitas akal budi ini? Plotinos menjawab: aktivitas akal budi adalah menjawab dan memikirkan dirinya sendiri. Dengan demikian, berarti bahwa akal budi tidak bersifat satu lagi (Esa), sebab sekarang sudah ada dualitas, yakni: ”yang memikirkan” dan “yang dipikirkan”.

2. Kemudian dari akal budi (Nous) menaglirlah jiwa (psyche) yang terdiri atas “Jiwa Dunia (Anima Mundi) dan “Jiwa Individual” (psyche).” Jiwa dunia” menjamin keselarasan (harmoni) dalam kosmos, sedangkan “Jiwa Individual” bersatu dengan materi.

3. Dan demikian, dari persatuan jiwa dengan materi (hyle) mengalirlah jagat raya. Sebagai bagian terjauh dalam proses emanasi the one, materi adalah bagian atau hasil pengaliran yang paling kurang kesempurnaannya, paling buruk dan sumber segala macam kejahatan. Plotinos menyebutnya sebgai unsur kegelapan. Persatuan antara materi dan jiwa mengaburkan pandangan manusia ke arah dunia ide-ide, terutama ke arah the one yang merupakan asal dan tujuan sesungguhnya.

Gerak ke atas dan kembali kepada the one hanya dapat dilakukan oleh manusia, berkat adanya cinta (eros), yakni daya dorong menuju ke the one. Jika gerak menurun dilihat sebgai proses emanasi, maka gerak menarik (remanasi) disebut pemurnian diri (khatarsis). Proses kembali atau pemurnian diri pun bisa dilakukan dalam tiga tahapan:

1. Pemurnian diri (purification): lewat kesenian, orang dibawa naik dari keindahan inderawi ke pengertian mendalam mengenai keindahan dan kebenaran yang mantap dan sejati.

2. Kontemplasi (contemplation): dengan berfilsafat orang akan mencapai pencarahan akal budi. Ia akan dapat mengenali dunia ide-ide. Dan akhirnya:

3. Penyatuan atau Peleburan (extase): orang akan mencapai penyatuan dengan the one, yang melampaui segala pengetahuan. Tahap akhir ini dicapai lewat kontemplasi dan “askese” atau laku tapa (misalnya, pantang, puasa, selibat) agar dapat melepaskan diri dari kekuatan pengaruh dunia materi. Menurut pengakuan Porfirius, murid Plotinos, bahwa ia pernah empat kali menyaksikan gurunya mengalami kondisi ekstasis.

Metafisika Menurut Pandangan Thomas Aquinas


Dalam metafisika Thomas Aquinas terdapat sebuah batasan kunci bahasa metafisikanya yang terdiri dari “pengada” (ens), “mengada” (esse), dan hakikat atau esensi (essentia). Kata “ens” yang merupakan bentuk pesertaan dari kata kerja “esse” digunakan oleh Thomas Aquinas untuk menyatakan pengada yang kongkret (a being). Sementara itu bentuk infinitif “esse” dipakai untuk menekankan aspek dinamis dari tindakan mengada.

Menurut Aquinas, pengada adalah apa yang mengada. Thomas Aquinas mengatakan “sama seperti aktus suatu makhluk hidup adalah hidup”, demikian pula pengada adalah suatu yang aktusnya ialah “mengada”. Pengada menyatakan sesuatu yang dimungkinkan oleh aktus mengada, pengada merupakan sesuatu yang berpartisipasi dalam aktus mengada. “Benda” menyatakan hakikat dari sesuatu yang berada dari sesuatu yang lain, sedangkan “pengada” menjelaskan bahwa suatu benda mengada.

Menurut Thomas Aquinas, “mengada” (esse) merupakan hal yang paling sempurna dari segala sesuatu. Karena “esse” jika dibandingkan dengan dengan segala sesuatu yang lain, dialah yang memungkinkan segala sesuatu bereksistensi secara aktual. Tidak satu pun hal dapat menjadi actual kalau ia tak bereksistensi (mengada). Thomas Aquinas menjelaskan bahwa secara hakiki, “esse” merupakan “yang tersempurna dari semua yang sempurna”.

Sebagai yang tersempurna, “esse” terletak pada lapisan terdalam dari segala sesuatu dan secara fundamental mendasari setiap pengada. Karakter yang paling fundamental dari “esse” adalah ia bukan sekedar aktus yang sempurna, dan secara radikal mendahului atau melandasi semua jenis aktivitas yang dapat dijalankan oleh suatu pengada. Kata eksistensi yang dewasa ini sering dgunakan merujuk pada istilah Thomas Aquinas tentang “esse”. Jadi, menurut Thomas Aquinas, eksistensi itu bukan hanya sekedar fakta empiris bahwa sesuatu ada, melainkan menyatakan bahwa secara primer ”eksistensi” menyatakan prinsip aktualitas yang secara fundamental dan spesifik melandasi adanya setiap pengada partikular .

Esensi menurut Thomas Aquinas adalah sesuatu yang secara umum dipunyai oleh semua yang alami. Atas dasar esensi hal-hal yang berbeda dapat dikelompokkan menurut kelas-kelas berbeda yang disebut spesies. Apa saja yang merupakan pengada riil tentu mempunyai esensi, sebab dengan perantaraan esensi tersebut spesies pengada yang satu dapat dibedakan dari spesies pengada yang lain. Karena penempatan suatu makhluk atau benda dalam ruang spesiesnya menyatakan hakikat makhluk atau benda itu, maka Aquinas juga menggunakan pemikiran Aristoteles tentang pemaknaan esensi yang dimengerti sebagai “keapaan”. Esensi atau keapaan adalah prinsip yang memungkinkan menjadi dirinya.

Esensi dari seseorang adalah apa yang karenanya ia menjadi seorang manusia, dan bukan menjadi sebuah permata atau malaikat. Karena adanya eksistensinya ia bisa mengada secara aktual sebagai manusia dan disebut pengada. Dalam arti “kodrat” esensi menjelaskan aktivitas yang khas pada pengada. Sementara dalam arti “keapaan” esensi memberikan arti hakikat sesuatu. Sebagai salah satu konsekuensi dari pengartian esensi seperti dijelaskan di atas, Aquinas tiba pada keyakinan bahwa esensi harus dibedakan dari eksistensi. Perbedaan ini paling jelas dipahami dari perspektif hubungan potensialitas-aktualitas. Seperti sudah dikatakan di atas, Aquinas mengerti esse sebagai aktus yang secara fundamental mencirikhaskan setiap pengada.

Semua jenis pengada yang secara nyata memenuhi realitas atas salah satu cara niscaya berpartisipasi dalam esse yang pada dirinya bersifat tidak terbatas. Karena esse merupakan prinsip aktualisasi satu-satunya yang memungkinkan segala sesuatu menjadi aktual, maka partisipasi setiap hal dalam esse tentu segera berarti penerimaan eksistensi. Tanpa partisispasi esse, tidak ada pengada atau eksistensi. Apa status sebelum partisipasi tersebut? Aquinas menjawab, potensialitas ialah apa yang secara aktual belum bereksistensi dan hanya mengada secara potensial. Aquinas memberikan nama khusus pada potensialitas jenis ini, yakni “esensi”. Berarti, esensi tidak selalu bersifat aktual.

Ia memberikan penjelasan demikian , kalau esse merupakan prinsip aktualitas, maka esensi adalah prinsip imitasi yang memberikan pembatasan pada esse, sehingga suatu bendamendapatkan aktualisasi sebagai dari spesies tertentu. Dengan kata lain, melalui esensi aktus mengada diterima oleh benda partikuler, sehingga secara aktual menjadi, misalnya seekor kuda, dan melalui esensi pula kuda itu menjadi kuda bukan badak.

Metafiska dalam Konsep Kebatinan Jawa

 
Masalah kebatinan dalam konteks Jawa tidak dapat lepas dari unsur mistik. Mistik dimengerti sebagai sebuah subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia guna mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. Pandangan Jawa terhadap yang Transenden diwujudkan dalam suatu sikap dan persepsi dasar manusia religius yang menghayati dan memandang Yang Sakral imanen dalam alam dan ritme alam, dan kehidupan manusia terjalin dengan adanya gerak kosmik.


Dalam khazanah bahasa Jawa terdapat banyak nama untuk menyebut nama Allah, misalnya; Hyang Murbeng Dumadi, Hyang Wenang datan Winenang, Hyang Widdi, Hyang Suksma, Sang Purwa (Madya) Wisesa, Ingkang Paring Gesang, Hyang Jagad Nata, Sangkan paraning dumadi dan sebagainya. Dari uraian penyebutan nama Allah ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam alam pikir Jawa itu tidak terdapat uraian pasti mengenai Allah itu. Tampaknya orang Jawa tidak merasa perlu untuk mencari adanya Allah atau hakikat adanya Allah.

Di dalam sebuah tradisi lisan Masyarakat Jawa terdapat suatu ajaran yang mengatakan “Gusti Allah iku yen dipikirke ora ono namung yen oran dipikirke kuwi ono” (Tuhan Allah itu kalau dipikirkan itu tidak ada, namun kalau tak dipikirkan itu ada). Orang Jawa membayangkan yang Ilahi itu bukan sebagai pribadi melainkan mereka hanya dapat merasakan kehadiran Yang Ilahi. Di dalam pandangan masyarakat Jawa, Alllah itu Maha mutlak, mengatasi segala sesuatu dan oleh karenanya tidak mungkin digambarkan dengan kata-kata ataupun akal pikiran manusia. Dari sini tampak bahwa Allah yang transeden itu dilihat sebagai pengada yang berada di luar jangkauan manusia.

Meskipun orang jawa melihat Allah sebgai pengada yang jauh melampaui segala sesuatu, tidak berarti bahwa bahwa Allah kemudian terpisah sama sekali dari dunia dan manusia. Dengan demikian orang Jawa mengalami “dwi fungsi” Keallahan, di satu sisi mengalami Allah yang Transenden yang mengatasi segala sesuatu dan di sisi lain mengalami Allah yang Imanen yang berada atau hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. “Gusti Allah Kuwi adoh ora keletan, cedhak ora kedemek”, yang artinya Tuhan Allah itu jauh tanpa jarak, dekat tak tersentuh.

Kebatinan Jawa pada hakikatnya mengarahkan pada kesatuan yang harmonis. Kebatinan jawa adalah hakikat yang terdalam dalam kebudayaan Jawa. Segala aspek kehidupan Jawa tak dapat lepas dari konteks kebatinan. Norma-norma kehidupan Jawa juga terinspirasi dari kebatianan. Dari uraian di atas juga dapat dilihat bahwa kebatinan Jawa tak dapat dilepaskan dari konteks dan pengaruh Hinduisme. Sintesis Atman-Brahman juga mewarnai konsep kesatuan yang harmonis dalam kebatinan.

Ajaran karma, samsara, keabadian Jiwa adalah contoh kongkrit kebatinan Jawa yang dipengaruhi oleh Hinduisme yang dikembangkan dari kalangan istana Jawa sejak jaman Hindu-Buddha. Hal-hal yang gaib dalam kebatinan menunjukan mistik yang kental. Hal-hal gaib ini adalah murni kepercayaan Jawa sebelum adanya pengaruh-pengaruh dari kebudayaan luar.

Sebuah Penutup


Pada dasarnya filsafat mencari pengertian menurut akar yang terdalam. Namun, filsafat tidak mulai dengan menyelidiki dari mana segala sesuatu berasal. Permulaan tersebut mengandaikan bahwa filsafat dapat bertitik tolak dari suatu titik nol. Permulaan seperti itu tidaklah dimungkinkan.

Beberapa filsuf seperti Martin Heidegger, Plotinos, Thomas Aquinas bahkan pandangan metafisika Jawa bertitik tolak dari kenyataan yang ada , yang tersedia yang telah ditemukan. Mereka menegaskan bahwa baik pengada ini maupun pengada itu memang tidak selalu ada dan bahwa pengada yang tertentu disebabkan pengada yang lainnya.


Namun, secara umum dan secara global pengada-pengada itu selalu ada . Ia tidak mau menyelidiki dari mana datangnya dunia dan seluruh pengada itu. Secara metafisis masalah tentang asal mula segala sesuatu merupakan masalah sekunder. Pandangan metafisis mementingkan struktur serta hubungan yang aktual dan faktual.

Daftar Pustaka


Budi Hardiman, F. “ Heidegger dan Mistik Keseharian”. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2008.
Lanur, Alex. “Plotinos (emanasi-remanasi)”. Jakarta: Majalah Diskursus STF Driyarkara. 2004.

Magniz-Suseno, Franz. “Etika Jawa (Sebuah Analisa Falsafi kebijakan Hidup Jawa)”. Jakarta: Gramedia. 1984.

Sudarminta, Johanis. “Metafisika sebagai hermeneutika: cara baru memahami Filsafat spekulatif Thomas Aquinas”. Jakarta: Obor. 2006.

Bacaan Sekunder:


Pranaka, A.M.W. “Imanensi dan Transendensi di dalam Alam Pikir Jawa”. Jogjakarta. Lembaga Javanologi: 1984.

J.B. Hari Kustanto, “Faham keselamatan dalam “Agama Jawa”. (Paper mata kuliah Agama-agama Asli Indonesia yang dbagikan penulis kepada Mahasiswa STF Driyarkara).

Post a Comment