Ongkos Politik dan Konsekuensinya

Ongkos Politik dan Konsekuensinya

Oleh Jesus Anam

Meskipun rakyat kecil sedang berada dalam situasi panceklik akibat pandemi Covid-19, para politikus pemburu kekuasaan tetap santai mempertontonkan tampangnya di pinggir-pinggir jalan, bahkan di jalan-jalan sepi. Aneka baliho besar tokoh partai politik tidak hanya menghiasi jalan-jalan di kota-kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil seperti Blitar.

Tentu biaya promosi ini tidak sedikit, terlebih kalau dikalkulasi mulai dari promosi pertama hingga jadi pejabat. Ongkos politik untuk menjadi kepala daerah saja, menurut cerita, berjumlah miliaran, apalagi kekuasaan di tingkat nasional.

Dalam upaya menduduki jabatan kepala daerah, misalnya, para pasangan calon bupati, wali kota, atau gubernur, mereka harus merogoh kantong tebal untuk membayar pendukung kemenangan seperti lembaga survei, konsultan politik, para tokoh berpengaruh, massa calon pemilih, hingga para makelar politik. Kemudian, pertanyaannya, mungkinkah mereka yang terpilih menjadi kepala daerah benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat?

Inilah problem dari demokrasi liberal (demokrasi borjuis). “Superioritas” nilai yang mendasari demokrasi ini—kebebasan, keadilan, kesetaraan, pluralisme—sudah penuh dengan karat. Isu demokratisasi yang digerakkan seperti gerobak tua yang tak mampu bergerak sejengkal pun. Lalu, apa jadinya apabila demokrasi yang berkarat ini masih menjadi basis nilai politik di negeri ini?

Jawabannya jelas, jangan berharap ada perubahan fundamental menuju tatanan yang adil dan menyejahterakan; jangan berharap ada kebebasan apa pun di bawah demokrasi borjuis; dan jangan bermimpi menjadi seorang pemimpin jika tidak memiliki banyak uang. Inikah yang disebut demokratis?

Secara konseptual, demokrasi merupakan sistem yang tepat dalam masyarakat yang kompleksitasnya terus melaju. Sejak kelahirannya, demokrasi diharapkan menjadi jalan bagi kebuntuan tata sosial feodalis. Demokrasi harus dapat memecahkan problem-problem keadilan, kebebasan, kesetaraan, dll. Akhirnya, demokrasi diharapkan menjadi instrumen politik yang progresif.

Akan tetapi, harapan itu ternyata berbeda dengan kenyataan. Konsepsi “agung” tersebut, dalam prosesnya, menjadi alat untuk mengelabuhi dan menjadi tumpu bagi kaki-kaki borjuasi. Marx, seorang filsuf politik penulis buku Das Kapital, menyebut demokrasi ini sebagai “demokrasi borjuis”.

Sudah sejak lama Marx menganalisis watak demokrasi borjuis. Bersama dengan kawan karibnya, Engels, Marx memberikan gambaran bahwa di bawah demokrasi borjuis hak-hak warga negara ditentukan oleh kekayaan. Ini menegaskan secara eksplisit bahwa negara borjuis merupakan sebuah organisasi milik kelas kaya untuk menguasai kelas miskin.

Kenapa ongkos politik sangat mahal? Di sinilah akan segera ditemukan titik terang ketika melihat hubungan struktural antara demokrasi borjuis dan kapitalisme. Hubungan ini menjadikan demokrasi borjuis memiliki karakteristik tersendiri, yakni keberadaannya hanya untuk melayani proses kapital, untuk kepentingan kapitalisme, dan tentunya, untuk mengelabuhi seluruh rakyat yang tak berdaya.

Dengan menggunakan perspektif kapital, politik—di bawah demokrasi borjui—bermakna komoditas, yaitu sesuatu yang dapat diperdagangkan. Siapa yang sanggup membeli dengan harga tinggi, dialah yang akan mendapatkannya; siapa yang telah mendapatkannya, dialah yang berhak meraup keuntungan: melalui tindak korupsi, manipulasi anggaran, menyalahgunakan jabatan, dll.

Logikanya, dengan ongkos politik yang mahal dalam perebutan kursi kekuasaan, sangat tidak mungkin tidak berpikir untung-rugi; sangat tidak mungkin kekuasaannya bertujuan untuk membangun kesejahteraan rakyat.

Dengan fakta fenomenal di atas, satu pertanyaan penting perlu diajukan: benarkah negeri ini sudah demokratis dan merdeka sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan ‘45, ketika seluruh akses politik, ekonomi, dan relasi sosial hanya dikuasai oleh segelintir orang yang punya uang?




Post a Comment