Victoria Park [CERPEN]

Victoria Park [CERPEN]

Oleh Jesus Anam

Namanya Marni Sudarti: lahir di Banjarnegara dan hingga lulus SMA masih tetap di Banjarnegara. Dia tak pernah ke mana-mana karena keburu dipinang oleh seorang laki-laki asal Wonosobo yang sekujur punggungnya penuh dengan panu. Demikianlah cinta, kata Shakespeare, ia buta; cinta tak bisa melihat realitas dengan jelas.

Dalam perjalanan hidup Marni, tepatnya usai pernikahannya, kemiskinan dan penderitaan menderanya bertubi-tubi. Ibunya mati karena tak mampu berobat; bapaknya sakit-sakitan; anak semata wayangnya menderita penyakit kronis dan berulang kali tak sadarkan diri. Kabarnya pula, Katimin, suaminya, hari-hari ini mentalnya terganggu.

Tragis. Ini bukan lelucon. Dari sinilah Marni kemudian bertekad untuk bekerja menjadi buruh rumah tangga di luar negeri. “Gaji buruh di Indonesia hanya cukup untuk beli beras,” pikirnya. “Aku harus bekerja di luar negeri dan mendapatkan uang banyak: untuk membangun rumah; membeli sepetak tanah; serta untuk mengobati penyakit Bapak, Genduk, dan Kang Katimin.”

Namun, harapan-harapan itu harus dibayar mahal di tempat kerja. Marni kerap mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya. Tak jarang pula dia memperoleh hukuman atas kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukannya. Bahkan, pada suatu malam, Marni sempat memutuskan untuk pulang dan memupus harapan-harapannya itu.

Udara di negeri beton malam itu terasa lembab dan dingin. Gumpalan kabut terlihat perlahan-lahan membentuk tabir samar. Pagi masih jauh. Irama angin terperangkap di tepi. Segalanya seperti hendak berakhir.

“Waktunya istirahat,” pikir Marni.

Sambil menunggu kedatangan si tuan dan si nyonya, dia ingin merebahkan tubuhnya di kasur, meluruskan kedua kakinya yang terasa bengkok. Baru saja masuk kamar untuk beristirahat, suara ketukan pintu terdengar sangat keras.

Dia segera bergegas berjalan menuju pintu dan membukanya. James Anderson—laki-laki jangkung berkepala gundul tanpa kumis dan alis, asal Amerika, sang tuan—yang datang. “Abominable!" ucap si tuan Anderson.

Marni kembali ke kamarnya. Dia sudah terbiasa dengan perangai Anderson. Tak heran, laki-laki Amerika itu memang selalu tampil kasar.

“Besok aku harus memutuskan untuk pulang,” batin Marni. “Aku sudah tidak kuat.”

Akan tetapi, keinginannya untuk pulang segera ditepis. Ya, tak ada pilihan lain. Dia sangat membutuhkan uang yang banyak. Dia tak bisa berharap pada suaminya yang miskin. Suaminya, Katimin, hanya seorang penggali pasir. Marni juga tak ingin pulang kampung tanpa uang, tanpa kebanggaan, dan bernasib seperti Yu Poniyah. Yu Poniyah, temannya, dihujani cemoohan oleh orang-orang karena pulang tanpa uang. Marni kembali dirundung kekalutan yang mencekam.

Tak berselang lama, terdengar suara si nyonya mengetuk pintu. Si nyonya bertingkah-laku sama seperti si tuan saat berada di depan pintu: menggerutu. Biasanya kedatangan si nyonya hanya selisih dua jam dengan si tuan. Posisinya bergantian. Kadang si nyonya yang terlebih dulu pulang, kadang sebaliknya.

Mereka jarang pulang bersama, meskipun berangkatnya hampir tak pernah tak bersama. Mungkin karena memiliki urusan masing-masing. Si nyonya dan si tuan mengelola pabrik sepatu, warisan dari orang tua si nyonya. Pabrik tersebut mempekerjakan sekitar lima ratus buruh. Tampaknya faktor inilah yang membuatnya menjadi gila kerja, sering lembur, dan hobi sekali pulang larut malam dengan raut muka tidak bahagia.

David dan Elizabeth, putra-putri mereka, sudah tertidur pulas di kasurnya masing-masing dalam satu kamar. Dua manusia kecil ini seperti kelinci: polos, lucu, dan menggemaskan. Nyonya Anderson, bernama asli Naomi Fang-Hua, perempuan berwajah bengis kelahiran Beijing 1970, berbadan gendut dan beralis tebal, masuk ke kamar anaknya. Sambil melirik ke arah Marni dia berucap, “Oh, how stupid!”

Raut muka Marni langsung berubah pucat. Tubuhnya menggigil dingin. Dia segara masuk kamar dan menghalau segala kegundahan.

“Aku harus kuat,” pikirnya.

Dia tetap teringat harapannya untuk membeli rumah dan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Foto putri semata wayangnya, Marhaeni Gadis Bumi, digenggamnya erat-erat.

Menjadi buruh rumah tangga memang tak ubahnya seperti budak. Keseluruhan dirinya sudah menjadi milik sang majikan. Tak boleh lelah. Tak boleh salah.

Marni tak kuat lagi menahan aliran air matanya yang masih tersisa. Dia melemparkan diri ke tempat tidur dan menangis tersedu-sedu. Terasa pahit. Kebenciannya pada penindasan meningkat cepat. Segala macam ide absurd mendatangi pikirannya. Dia serasa mencium aroma busuk penjara. Merasa terlempar ke dalam sel tahanan. Merasa terlempar ke dalam ruangan dingin dan gelap dengan tikus-tikus yang tidak sopan. Namun, siapa yang akan berdiri untuk membelanya?

Menteri Tenaga Kerja seakan tak peduli dengan persoalan buruh migran. Organisasi-organisasi buruh migran hanya sibuk membuat laporan untuk mendapatkan bantuan. Katimin, suaminya, apalagi. Katimin cuma bisa menggali pasir dan menjualnya dengan harga murah kepada para tengkulak.

Marni semakin larut dalam pusaran kebingungan.

“Prakkk!” Terdengar suara seseorang sedang membanting piring.

Who is that?” Marni teriak bertanya.

Tak ada yang menyahut. Tak ada yang bersedia menggerakkan mulut. Tak berselang lama, suara yang sama, suara piring dibanting, terulang kembali disertai suara omelan seorang perempuan. Itu jelas suara si nyonya.

“Ada apa, ya, dengan Nyonya?” tanya Marni dalam hati.

Tampaknya pertengkaran tuan-nyonya meletus lagi. Marni sudah siap-siap menjadi tumbal sasaran. Marni sudah kebal. Untung saja laki-laki Amerika itu, meskipun telinganya tinggi sebelah, mampu bersabar dengan omelan-omelan istrinya, sehingga situasi tak bertambah runyam.

Malam seakan bergerak cepat. Rasa kantuk mulai menyerang Marni dan nyaris tak dapat ditahan. Kabut tebal yang tadi membentuk gugusan, dan terlihat oleh Marni dari balik jendela, perlahan-lahan membuyar. Marni terus terbayang-bayang wajah Marhaeni. Dia khawatir penyakit kronis putrinya akan menyebabkan ....

“Oh, jangan!” teriak Marni lirih. “Aku tak akan kuat jika hal itu benar-benar terjadi!”

Seketika dia teringat obrolan dengan Sumilah, teman sekampungnya, saat menggelar aksi buruh migran di Victoria Park beberapa waktu yang lalu. “Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Mar!” pinta Sumilah. “Kita harus kuat. Seperti kata buku panduan saat kita berada di pesawat terbang: jika ada apa-apa, sang ibu harus terlebih dulu menyelamatkan diri. Kamu adalah sang ibu dari seluruh keluargamu. Kamu juga jangan berpikir untuk melkukan hal-hal nekat. Kamu masih untung, punya majikan yang gak terlalu kasar. Majikanmu masih punya ambang batas. Coba jika kamu punya majikan yang berperangai seperti majikannya Masruroh, wajah cantikmu pasti sudah dihiasi oleh goresan-goresan pisau.”

Victoria Park, tempat berhiburnya para buruh migran di setiap hari Minggu, telah menjadi tempat curhat Marni. Akan tetapi, tempat itu tak hanya digunakan sebagai ajang curhat, mencari informsi, atau sekadar makan-makan bersama. Victoria Park sudah menjadi semacam “markas” bagi buruh migran. Bahkan, sudah menjadi arena untuk mengorganisasi perlawanan. Marni sangat menyukai tempat itu. Di situ dia menemukan kawan dan perlawanan. Di situ pula dia bisa aktif di dalam sebuah gerakan.

Tiba-tiba alarm yang ada di telpon genggamnya berbunyi, pertanda mau tak mau dia harus memejamkan mata. Besok pagi, sebagaimana biasanya, dia harus bangun pagi-pagi: melayani tuan-nyonya dan kemudian mengantar David serta Elizabeth ke sekolah.


Namun, mata Marni seperti tak ingin terpejam. Ada yang masih tertinggal untuk dipikirkan. Ya, ternyata tentang bapaknya, Sanem. Rupanya dia sangat khawatir dengan kesehatan bapaknya itu. Sanem sudah berulang kali mati, tetapi hidup kembali. Kata orang-orang, itu bukan mati, melainkan sekarat. “Semoga masih bisa menemui Bapak saat aku pulang nanti,” pikir Marni. “Bapak tidak ingin diremehkan terus karena miskin.”

“Pukul satu. Cepat sekali!” ucap Marni pada bantal berbentuk orang-orangan yang berbaring di sisinya. “Ayo tidur!” Dia berbicara pada bantal itu.

Belum selesai menata tubuhnya di tempat tidur, suara panggilan telepon terdengar kencang. Volume ponselnya memang selalu disetel maksimal.

“Halo ... assalamualaikum! Mar, Bapake wis ora nana!”

Itu suara Katimin, suami Marni, laki-laki yang sepanjang hidupnya tak pernah bebas dari penyakit panu—penyakitnya orang miskin. Penyakit yang menyukai tubuh-tubuh yang berkeringat.

Bapake sapa, Kang? Bapake enyong wis ora nana? Innalillahi ...!” teriak Marni dengan suara tinggi.

Marhaeni kepriben, Kang, apa isih nang rumah sakit?”

Tak ada jawaban dari Katimin mengenai Marhaeni. Katimin hanya mengabarkan tentang mertuanya yang telah mati. “Lalu bagiamana dengan Marhaeni, apakah dia semakin parah dan akan mati pula?” Marni berteriak keras dengan suara terputus-putus.

Marni hampir pingsan. Pikirannya berkecamuk di putaran ritme malam yang hening. Tidak mungkin pulang. Tidak mungkin pula tidak pulang. Jika pulang, uang dari mana? Baru saja seluruh uangnya dikirim ke kampung untuk pengobatan bapak serta anaknya, dan juga untuk melunasi hutang-hutangnya ke rentenir yang membiayainya pergi ke Hong Kong.

Ini titik kulminatif bagi Marni. Keseluruhan dirinya benar-benar sedang berada di titik nol. Seluruh memori kelam masa lalunya menyeruak, memadati pikirannya, membentuk gugusan padat dan mengeram. Dia terus teringat pada bapaknya. Dia menyesal tak bisa memenuhi janjinya untuk membelikan sepetak tanah. “Tapi tak apa,” seru Marni memenangkan pikirannya, “semoga di sana ada surga, dan Bapak mendapatkan pahala karena penderitaannya.” Akan tetapi, bagaimana dengan putri semata wayangnya, Marhaeni Gadis Bumi?

(Mungkin saat seperti inilah seseorang disebut berada di “titik nol”. Segalanya terasa lenyap. Keseluruhan realitas tiba-tiba menampakkan diri tak berarti. Pada akhirnya putus asa, hendak bunuh diri, atau ingin segera menuju lembah “kedamaian” dengan mempercepat kematian. Namun, tunggu dulu! Celoteh ringan dari Dostoevsky, sastrawan aneh berkebangsaan Rusia yang berkali-kali hampir mati, kelihatannya patut direnungkan. “Rasa sakit dan penderitaan,” kata Dostoevsky, “akan menciptakan kekuatan, kecerdasan, dan kehebatan.”)

Tak terasa hari sudah hampir pagi. Marni belum tidur.

“Oh, ini hari Minggu!” teriak Marni senang. “Oh, my God, hari ini ternyata aku bebas dari kerja. Ini hari untuk berkumpul di Victoria Park.”

Victoria Park pasti akan ramai dengan berita kematian bapak Marni, Sanem. Baru saja dia mendapatkan kabar dari Riyanti, teman dekatnya asal Madiun, bahwa hari ini buruh migran akan menggelar aksi protes kembali di depan kantor konsulat. Kabar ini sangat menggembirakan Marni di tengah kesedihannya yang tak terbatas. Ketepatan dalam aksi hari ini dia mendapatkan giliran berorasi.

Bagi Marni, ini kesempatan untuk mengekspresikan suara politiknya di depan massa. Dia sudah membuat catatan-catatan penting. Dia ingin berbicara tentang kemiskinan, penindasan, kesedihan, dan kematian. Dia ingin mengajak massa untuk terus melawan dan menghancurkan segala belenggu penindasan dan ketidakadilan.

“Bangkitlah, Kawan!” ucap Marni kepada bayangannya sendiri di depan cermin. “Kau perempuan kuat. Bukankah kau ingin selalu menjadi tarian ilalang yang indah di depan orang-orang yang sedang dirundung resah?"


Post a Comment