Kemarahan dan Binatang


Oleh: Dwi Laksono

Seorang orang tua dilihat oleh bocah umur belasan tahun ketika berada di ruang tengah sebuah rumah besar yang sempit. Saat melihat orang tua tersebut, ya, ayahnya sendiri, ia menjadi berhenti melihat, ia tidak sudi melihatnya, ia berpikir, adiknya yang masih balita, yang awalnya sedang ia gendong dengan hati-hati dan konyol, kemudian digendong dengan sangat hati-hati.

Bocah tersebut melihat ayahnya ngedumel, setelah mengawasi salah satu grup facebook yang isinya dipenuhi oleh pertanyaan, ejekan, bahkan pencampakan bertubi-tubi terhadap tuhan dan agama. Hal yang membuat si bocah tidak sudi melihat ayahnya dan mewaspadai adiknya di luar batas kebiasaan adalah ketakutan ayahnya menakuti si bocah beserta adiknya,  ketika si bocah mendengar "hidup kita akan kacau balau karena ulah orang-orang tidak bermoral itu" dari bisikan suara keras mulut ayahnya.

Si bocah bergegas menuju halaman rumah sambil menggendong adiknya. Akhirnya ia berpikir penuh ketakutan, karena ia sendiri tidak mengerti tuhan dan agama, apalagi adiknya yang masih balita. Si bocah merasa tidak bermoral, takut diomeli ayahnya karena akan menjadi penyebab kekacauan.

Setelah di halaman, si bocah kembali berlaga, namun dengan sangat konyol menggendong, karena adiknya menangis akibat ulah ketakutan ayahnya yang ternyata berdampak begitu besar. Si Bocah kebingungan karena kekonyolannya sendiri tidak dapat meredakan tangis adiknya. Ia sempat berpikir untuk meminta pertolongan kepada ayahnya, tetapi ia urungkan, karena klaim, bahwa penyebab tangis adiknya adalah ayahnya sendiri, dan lagi si bocah takut disalahkan sebagai penyebab pecahnya tangis, penyebab kekacauan, karena ia tidak paham tuhan dan agama.

Kalang kabut, si bocah menyembunyikan adiknya ke sebelah rumah mereka. Sambil terus kebingungan karena tangis adiknya semakin pecah, takut terdengar sampai ke dalam rumah sempit itu, si bocah tidak sengaja sadar melihat tanaman, sengaja menjadikan tanaman-tanaman liar yang hidup di samping rumahnya sebagai objek untuk meredakan tangis adiknya.

Si bocah menunjuk-nunjuk ke arah tanaman, memberi arahan ke adiknya. "Lihat itu," ucap si bocah kepada adiknya dengan panik. "Ada lebah dan kupu-kupu hinggap di bunganya," lanjutnya tambah panik. Adiknya pun melihat dengan tajam ke arah tanaman dan hewan yang terbang hilir mudik dari satu bunga ke bunga lainnya. Akhirnya tatapan tajam menggantikan tangis yang tidak terbatas, reda lalu hilang sementara, mengubah mereka berdua menjadi menyaksikan, tanpa bersuara sedikit pun. Si bocah sebelumnya tidak menduga akan berhasil. "Terimakasih kalian," ucap si bocah kepada makhluk hidup tersebut dengan suara pelan di dalam pikirannya.

Selang beberapa waktu, tiba-tiba keheningan pecah, bukan karena mendengar dumelan ayahnya, melainkan ketika mereka berdua mendengar aungan agak sedikit jauh di belakang rumahnya. Dada sebelah kiri si bocah sempat berdetak sangat cepat, ia mengira ayahnya berulah lagi. Mereka berdua bergerak ke arah sumber suara. "Lihat itu," ucap si bocah dengan riang. Ucapan si bocah disambut teriakan melengking dari adiknya yang melihat sekelompok kerbau tersebut. "Aungan yang sangat baik," bisik si bocah ke telinga adiknya.

"Mereka makan rumput. Eh, ada burung juga di punggung kerbaunya." Si bocah sedang menggambarkan apa yang ia lihat. Mereka berdiri tersenyum-senyum sekian lamanya sambil menahan posisi agar tidak mengganggu aktivitas binatang tersebut, hingga kerbau itu pergi dari jangkauan pengindraan. Sementara sudah tidak ada tangis, si bocah berencana kembali ke dalam rumah dengan gagah, membawa reputasi, kebanggaan moralitas kepada ayahnya, membawa ketiadaan keadaan tidak bermoral—ketiadaan kekacauan. Namun, tiba-tiba, penglihatan mereka merekam sesuatu di arah sebelah kiri, di bawah pohon mangga tinggi dan besar. Mereka melihat ibu simpanse sedang menggendong, serta menyumpeli mulut anaknya dengan buah.

Si bocah menghentikan langkah menuju pintu rumah, ia menuju pintu mata adiknya. "Hahaha," si bocah tertawa, seperti sedang digelitik siaran komedi. Ia tertawa karena heran, dirinya yang seorang manusia, yang dianggap superior di antara yang lainnya, justru gelagat ia yang sedang mengendong adiknya, sama seperti simpanse itu.

Di sela-sela pergumulan si bocah, adiknya malah sibuk meronta-ronta ingin menghampiri ibu simpanse tersebut. Di sela-sela kesibukan adiknya, si bocah sibuk merasa akan mendapatkan tambahan reputasi, karena mendapatkan sebuah jawaban mencolok, bahwa ketidakbermoralannya, karena tidak paham tuhan dan agama seperti versi ayahnya, adalah sangat bermoral, karena ibu simpanse yang tidak paham tuhan dan tidak beragama, sedangkan si bocah mengasuh adiknya bukan anaknya—juga menjaga dan mengasuh anaknya: tidak membuat kekacauan karena tidak paham tuhan dan tidak beragama, tidak menelantarkan atau membunuh anaknya. Lagi pula, mereka sudah membuat adiknya tidak menangis karena takut, tidak seperti ayahnya—tidak ada alasan tidak bermoral. Selepasnya, si bocah kembali ingat soal burung-burung yang berada di punggung kerbau, ia kebingungan dalam merangkai kata. Namun, yang ia pahami, bahwa si kerbau tidak memakan burung-burung itu, bukan sebuah gangguan, mungkin aktivitas yang membantu, bahkan dalam meredakan tangis adiknya.

Lelah berpikir dan menahan rontaan adiknya, tanpa banyak pertimbangan, karena sejumlah reputasi untuk ayahnya, si bocah langsung berbalik badan, lalu berjalan ke arah pintu rumahnya secara mendadak. Adiknya pun ikut berbalik, tetapi terhadap si bocah, meronta kepada si bocah yang berbalik menuju pintu rumahnya untuk menuju ibu simpanse. Tangis adiknya kembali pecah dan cemas, si bocah pun sama halnya. Langkah terhenti, jalan menuju pintu tertutup, jalan bercabang, lalu si bocah kembali menyiapkan dasar atau menuju klaim tentang siapa sebenarnya yang tidak bermoral.

2 Komentar

Posting Komentar