Peristiwa di Halimun

 

Oleh Rianda Akbari

Hamparan gersang menjadi oase di tengah rimbunnya pepohonan, berada di antara optimistis masyarakat yang sehari-hari bekerja sebagai penggarap kebun. Tidak hanya laki-laki, sebagian perempuan sambil mengais bocah beringus terpaksa memungut buah asam yang berjatuhan di samping kebun singkong. Paling banyak sekantong kresek, tidak menentu apalagi jika terlambat, buah asam habis dipungut oleh yang lainnya. Hari itu juga mesti langsung dijual ke tengkulak, biasanya siang sebelum waktu zuhur mereka semua sudah selesai, sekantong kresek dihargai dua ribu rupiah. Memang tidak seberapa, tetapi cukup untuk melunasi hutang kemarin di warung tetangga. 

Menyesakkan, sekadar untuk makan nasi dan teri saja sampai harus berutang ke warung. Itu bagi yang beruntung, banyak juga yang terlilit hingga tidak mampu mencicilnya lagi, jika sudah begini goreng garam dicampur bawang pun sudah menjadi biasa. Tak kalah penting teh tubruk dengan seperempat gula pasir harus dijejalkan jika tengah malam bocah-bocah kurus itu merengek. Menyisihkan hasil upah bukanlah sesuatu yang mudah, tentu di satu waktu ingin makan enak.

Sudah dua minggu terakhir mereka terusik akan kejadian yang tidak pernah mendera sebelumnya. Benar, bagian dasar danau tampak retak dan mengerak bagai tembikar kering tak berair. Sebagaimana kondisi tersebut tidaklah mendadak, tetapi berangsur-angsur menyusut. Debit air yang biasanya melimpah sekarang hanya tersisa padang tandus. Anehnya, meski malam tadi hujan mengguyur deras, bahkan tetap saja airnya hilang tak berbekas.

Konon, semua ini dikaitkan ulah manusia yang membendung aliran di hulu sungai guna sumber energi listrik, katanya. Padahal aliran sungai adalah pemasok utama bagi danau tembolok ini sekalipun listriknya ikut mereka nikmati, itu pun belum pasti. “Tidak sesederhana yang dipikirkan, danau itu mengering karena banyak faktor ...,“ ucap lelaki berkemeja putih coba meyakinkan. Ya, ia salah satu perwakilan dari pengelola bendungan yang bertemu dengan kelompok masyarakat.

Seperti namanya, bentuk danau itu nyaris mirip dengan rupa tembolok burung. Ia bukanlah danau buatan, melainkan telah lama berdamping hidup bersama masyarakat sekitar. Tentu, selain manusia, adapun makhluk hidup lain seperti burung kancilan yang setiap sore selalu bertengger di atas pohon pinus lapuk akibat tumbang lalu terendam. Sesekali gerombolan kerbau terlihat hilir mudik sekadar untuk minum ataupun mengunyah kumbuh menggunakan rahang-rahang kokohnya. Namun, riak-riak di tengah danau pun kini tidak lagi terlihat sebagaimana penanda bila ikan menari-nari di sana.

Sudah lima jam pertemuan ini berlangsung, warga mendengarkan penuh seksama. Tidak semua memang, ada juga beberapa lelaki yang acuh tak acuh sambil merokok menghadap ke pelataran luar. Jujur saja, dari awal sudah menjemukan sekali selalu ada istilah asing yang tidak akrab terdengar. “Bagaimana kami tidak mengerti sedangkan seharian sibuk di ladang demi mengejar perkara lapar,” ketus Darmini. “Betul! Jangankan memahami istilah-istilah itu, mendengarnya saja kami tak pernah,” timpal seorang lelaki ikut mengamini pernyataan tadi. Sulit rasanya memaksa kehendak agar penjelasan tadi masuk ke kuping orang-orang di sini.

Wajar, pagi buta sekali orang kampung Halimun sudah memulai aktivitasnya untuk ke ladang; mengasah arit sekaligus membuat ganjalan untuk gagang pacul yang longgar, kemudian menambal ala kadarnya celana yang sedikit robek, tak lupa sebungkus kretek selalu tersempil di saku baju yang sudah lusuh. Dengan tergesa Darmini segera memakai caping miliknya karena baru saja matahari naik makin tinggi menyingkirkan kabut-kabut tebal. Susunan batu gamping menjadi alas jalan yang berada di antara gundukan tanah berlumut, ketika menoleh ke kanan terlihat jelas jurang menganga begitu curam, siap menyambut siapa pun yang tergelincir ke dalamnya. Bukan main, kalau sedang hujan air bercampur tanah itu cukup merepotkan langkah gambee yang selalu dipakainya.

Post a Comment