Jalan Baru

Sekolah Filsafat Jalanan

Oleh: Sekala Langit

Saya bukan orang yang pandai mengingat dan sering kesulitan memahami istilah-istilah baru yang ada dalam buku-buku atau jurnalt entang feminisme, sehingga saya harus menerjemahkan terlebih dulu istilah-istilah baru tersebut. Jujur, feminisme bukan sesuatu yang mudah untuk dipelajari, sebab feminism membongkar persoalan-persoalan lama dengan istilah-istilah baru, yang pada titik tertentu, saya merasa “terkejut” dengan hal yang begitu lazim di masyarakat tetapi sebaliknya menjadi pertanyaan kritis dalam pembahasan feminisme.

Namun, pada waktu bersamaan, saya juga mengakui bahwa memang ada permasalahan dalam budaya kita yang kemudian secara spesifik disebut permasalahan gender .Ketika mempelajarinya, perasaan yang muncul dalam diri saya adalah seperti saya sudah melakukan perjalanan panjang –berdiri di satu titik tertentu—dalam kehidupan. Kemudian baru menyadari ada suatu yang penting yang saya lupakan, sebuah masalah yang tidak bisa saya biarkan begitu saja. Kompleksitas yang terjadi saat mempelajari feminisme inilah yang kerap membuat saya lambat (berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bisa lebih satuwarsa) dalam menyelesaikan buku-buku atau bahan bacaan tentang feminisme, tetapi saya menyukai dan selalu tertarik untuk terus mempelajarinya.

Ketika pertama kali melihat buku ini, banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Saya tidak lagi berpikir tentang apakah bisa selesai membaca dalam waktu cepat atau tidak, karena judul dan ringkasan bukunya saja sudah teramat membuat saya penasaran. Jelas sekali saya berpikir, mengapa kita semua harus menjadi feminis? Apa yang akan diceritakan buku ini kepada saya—kepada kita semua—sehingga kita akan memiliki kepercayaan baru dan keyakinan yang sama dengan Chimamanda Ngozi Adichie, bahwa, “Kita Semua Harus Menjadi Feminis dan benar ada masalah gender di dalam budaya kita selama ini.”

Buku yang berjudul A Feminist Manifesto (Kita Semua Harus Menjadi Feminis) ini dikemas dengan sampul merah muda, dan ilustrasi para perempuan yang berpenampilan dengan ragam gaya masing-masing. Saya pikir, inilah sesuatu yang berhasil menggambarkan tentang keragaman perempuan kepada kita semua.

Buku setebal 79 halaman ini terbagi menjadi 2 bagian, yang pertama berjudulKita Semua Harus Menjadi Feminis” dan bagian kedua berjudul “Teruntuk Ijeawele”: Manifesto Feminis dalam Lima Belas Anjuran. Buku ini menyuguhkan kita tentang pengalaman-pengalaman hidup Chimamanda sebagai seorang Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Pria dan yang Suka Memakai Lip Gloss dan Sepatu Hak Tinggi untuk Dirinya Sendiri dan Bukan untuk Mengesankan Pria. Ini tertulis pada bagian pertama buku ini.

Kalimat-kalimat sederhana, kejadian demi kejadian yang ditulis dengan  rapi ini membuat kita mudah memahami. Kemudian gaya bahasa yang digunakannya seperti bercerita, ya, sungguh-sungguh bercerita. Berkat itulah—di luar dugaan—saya mampu menyelesaikan buku A Feminist Manifesto dalam waktu kurang lebih 1 jam.

Dia bercerita, “Saya punya teman lain, juga seorang wanita Amerika, yang memiliki pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan periklanan. Dia salah satu dari dua wanita di dalam timnya. Suatu kali, di sebuah pertemuan, dia berkata bahwa dia merasa diremehkan oleh bosnya, yang mengabaikan komentarnya dan kemudian memuji sesuatu yang serupa ketika itu dating dari mulut seorang pria. Dia ingin bicara, menantang bosnya.Namun, dia tidak melakukannya. Sebaliknya, setelah pertemuan itu, dia pergi ke kamar mandi dan menangis—baru kemudian menelpon saya untuk melampiaskannya. Dia tidak mau bicara karena dia tidak ingin terlihat agresif. Dia membiarkan kebenciaannya membara.”

“Apa yang mengherankan saya—baik terhadap teman saya yang satu ini maupun teman-teman wanita Amerika yang lainnya—adalah bagaimana mereka menginvestasikan diri untuk menjadi ‘disukai’. Bagaimana mereka dibesarkan untuk meyakini bahwa sikap mereka yang menyenangkan itu sangatlah penting dan bahwa sifat ‘yang disukai’ ini adalah hal yang begitu spesifik. Dan hal-hal spesifik itu termasuk untuk tidak menujukkan kemarahan, agresifitas, maupun sifat keras.”

Setiap saya membaca kalimat ke kalimat, paragraf ke paragraf, saya merasakan ada sesuatu yang sangat relate dengan apa yang sering saya lihat atau yang pernah saya alami. Mungkin tidak seutuhnya sama, tetapi yang disampaikan Chimamanda sebagian besar mewakili apa yang telah terjadi dalam hidup saya. Sehingga ketika membacanya, saya sekaligus membayangkan pengalaman-pengalaman pribadi yang sampai sekarang masih kuat dalam ingatan. Ingatan tentang luka dan kekecewaan, tentang kemarahan yang tidak bisa diungkapkan, tentang air mata yang tidak boleh ditunjukkan, dan tentang bagaimana saya harus menjadi perempuan "baik" yang harus selalu "baik-baik” saja.

Pada bagian kedua buku ini, ada 15 anjuran yang ditulis Chimamanda untuk sahabat masa kecil yang meminta saran kepadanya bagaimana cara membesarkan anak perempuan menjadi seorang feminis. Baginya, ada dua “alat feminis” yang bisa digunakan, “Yang pertama adalah premis, keyakinan kuat yang tidak akan bengkok. Apa premis yang kau miliki? Premis feminismu seharusnya: Diriku adalah penting. Aku sama pentingnya dengan orang lain.”

“Alat kedua adalah sebuah pertanyaan: Dapatkan kau membalik X dan mendapatkan hasil yang sama? ” Bagi Chimamanda, feminisme selalu kontekstual. “Misalnya: banyak orang yang percaya bahwa respon feminis wanita terhadap perselingkuhan suami adalah pergi meninggalkannya. Akan tetapi, aku rasa, tetap tinggal juga bisa menjadi pilihan seorang feminis. Tergantung konteksnya. Jika Chudi tidur dengan wanita lain dan kau memaafkannya, apakah hal yang sama berlaku jika kau tidur dengan pria lain? Jika jawabannya ‘ya’, maka memaafkannya bisa menjadi pilihan feminis karena tidak dibentuk oleh ketidaksetaraan gender. Sedihnya, kenyataan di hamper setiap pernikahan, jawabannya seringkali ‘tidak’, dan alasannya berbasis pada gender.” Begitulah yang tertulis dalam pengantar surat Chimamanda kepada sahabat masa kecilnya sebelum masuk pada 15 anjuran yang ingin diasampaikan.

Dalam buku ini, kita dapat melihat bagaimana konsep feminism disusun rapi dan menyenangkan karena kita dibuat seakan hanya mendengarkan dia bercerita. Tulisan ini begitu sederhana, namun sarat dengan pemaknaan tentang menjadi seorang perempuan. Dalam tulisan ini, hanya sebagian dari banyak cerita pengalaman Chimamanda yang telah saya kutip, artinya masih banyak yang bisa dipelajari dan diketahui dari membaca buku ini.

Bagi saya, buku ini sangat baik untuk menjadi teman berpikir, yang menjelaskan terkait situasi kita sekarang bahwa terjadi ketimpangan gender di berbagai aspek kehidupan. Lalu, mengapa kita semua harus menjadi feminis? Dan apa arti “feminisme” hari ini?

Buku ini merupakan “jalan” baru yang bisa teman-teman tempuh, termasuk saya, untuk "menjelajah" ke dalam "kehidupan" feminisme yang menginginkan adanya Equal Rights, Freedom, dan Respect. Sebuah konsep feminisme yang ditawarkan Chimamanda ini ringans ekali untuk dibaca da ndipelajari lebih lanjut, sebab bertaut pada kehidupan kita sehari-hari.

Namun, pendapat kita bisa saja tidak sama tentang buku ini dan tidak apa-apa, karena semua orang memiliki pemikiran dan pengalaman yang berbeda-beda. Selamat Membaca, Teman Penaku.


Note: Saya menyebutnya Chimamanda karena dia menuliskan nama tersebut di akhir surat yang ditulisnya kepada sahabat masa kecilnya. Otomatis saya berpikir—semoga tidak salahdia ingin disebut Chimamanda. Buku ini merupakan gabungan dua buku: We Should All Be Feminist dan Dear Ijeawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions.


1 Komentar

  1. Start small, and enhance the stake when you are up} on a successful streak. 카지노 사이트 We'll offer clear, clear bonuses and promotions to both new and present players. There are normally no fees for withdrawing cash from an internet on line casino. Some casinos do cost small fees, so it is price wanting on the fantastic print when choosing a on line casino and withdrawing your funds.

    BalasHapus

Posting Komentar