Awal munculnya gelaran piala dunia di
Qatar memang menuai beberapa kontroversi,
salah satunya adalah larangan kampanye tentang LGBTQ+. Kebijakan Qatar yang
melarang penggunaan simbol LGBTQ+, termasuk ban bercorak pelangi OneLove yang
mendapatkan kecaman dari berbagai belahan dunia, misalnya dari negara-negara di
belahan Eropa, yang menganggap bahwa tuan rumah piala dunia ini tak punya rasa
toleransi, dan bersikap intoleran terhadap berbagai macam perbedaan.
Sontak belakangan ini jagat
internet menjadi sesak oleh penentangan, terutama terhadap aksi solidaritas LGBTQ+
yang ngotot dilakukan di Qatar oleh beberapa tim sepakbola negara selain Qatar.
Salah satu penentang yang hadir adalah sebagian besar masyarakat Indonesia, dengan kesimpulan andalannya
yang bagaikan jamur di musim hujan, sebagiannya adalah: "Aksi solidaritas
LGBTQ+ itu tidak menghargai negara Qatar" dan “tidak menghargai tuan rumah.”
Dalam kerangka berpikir seperti itu,
apakah dapat dikatakan jika yang tidak bertentangan adalah yang
dilakukan oleh masyarakat Qatar itu sendiri? Apakah bisa dikatakan demikian?
Jawabannya adalah belum tentu.
Jika konklusi tersebut berada pada golongan tengah dari spektrum
“Ya” dan “Tidak”, hal itu membawa kita pada,
bahwa kemungkinan-kemungkinannya adalah masyarakat Qatar akan sama dengan hasil yang
diterima oleh tim sepakbola yang melakukan solidaritas, yaitu “ditentang”.
Lalu jika kita uraikan serta analisis buah pikiran itu,
seandainya memang “ditentang”, secara otomatis pemerintah Qatar
tidak menghormati dan tidak menghargai rakyatnya sendiri yang LGBTQ+ dan yang
bersolidaritas terhadapnya, di sini letak kekeliruan relevansinya.
Ya memang ditentang, hal demikian dapat ditunjang oleh laporan Human Rights Watch
(HRW) pada Oktober 2022, menyebutkan bahwa otoritas Qatar antara 2019 hingga 2022
menangkap secara sewenang-wenang dan melakukan penganiayaan sedikitnya 6 orang
"queer"[1].
Walaupun Pemerintah Qatar melakukan bantahan terkait laporan HRW,
justru kita sekarang mengetahui yang
sebenarnya dalam bentuk aturan perhelatan piala dunia tahun 2022. Dari sini juga kita mengetahui bahwa terdapat masyarakat
Qatar yang LGBTQ+, karena Pemerintah Qatar
tidak mengatakan bahwa tidak terdapat masyarakat Qatar yang LGBTQ+.
Kesimpulannya, jika rakyat Qatar yang
LGBTQ+ dan yang bersolidaritas terhadapnya sama dengan perlakuan yang
diterima oleh tim sepakbola tertentu, sehingga solidaritas yang
dilakukan tim sepakbola tertentu dapat dikatakan identik dengan masyarakat Qatar yang
LGBTQ+ dan yang bersolidaritas terhadapnya.
Lalu pertanyaan selanjutnya:
jika demikian, bagaimana posisi sebagian besar masyarakat Indonesia?
Jawabannya adalah, masyarakat
Indonesia bersolidaritas dengan pemerintah Qatar,
selain menolak solidaritas dari tim sepakbola yang bersolidaritas terhadap LGBTQ+,
masyarakat Indonesia pun secara tak langsung tidak menghargai masyarakat Qatar yang
LGBTQ+.
Maka dalam hal ini,
masyarakat Indonesia secara tidak langsung melakukan sesat pikir yang lain juga, yaitu
"bandwagon fallacy", bahwa logical fallacy ini cenderung tidak mempunyai pendirian
yang kuat atau kokoh karena terus mengikuti hal-hal yang dianggap benar oleh banyak
orang atau yang dianggap benar oleh mayoritasnya. Dalam kasus LGBTQ+ ini bahwa masyarakat
Indonesia menolak solidaritas tim sepakbola yang bersolidaritas terhadap LBGTQ+
dan mendukung kebijakan Qatar untuk menentang LGBTQ+ adalah sebuah sesat pikir yang bisa saja karena memiliki kesamaan
yang sama-sama diamini, misalkan, karena hal tersebut dilarang oleh agamanya,
maka kebetulan yang tepat bahwa masyarakat Qatar juga penganut mayoritas dari agamanya.
Sekarang sudah jelas, kesimpulan
"tidak menghargai negara Qatar" atau “tidak menghargai tuan rumah” yang
digunakan sebagai alasan untuk menolak solidaritas dari tim sepakbola
tidaklah tepat atau bukan yang sebenarnya. Selain karena uraian di atas, penentangan
pun akan terjadi, jika diandaikan kita sebagai warga Indonesia yang
awalnya mengarahkan solidaritas terhadap tim sepakbola tertentu yang bersolidaritas,
lalu mengubah arah solidaritas kepada warga LGBTQ+ di Indonesia.
Penentangan tersebut
(dengan alih-alih mendukung kedaulatan negara Qatar) juga artinya menentang LGBTQ+ di
Indonesia, maka niscaya mungkin menentang yang di mana pun,
artinya sebanding juga dengan tim sepakbola tertentu yang melakukan solidaritas di
mana pun.
Posting Komentar