Oleh: Rianda Akbari
Panggil aku Tarmini—hiraukan aku berasal dari mana. Tepatnya beberapa bulan lalu—abaikan kapannya. Aku merantau ke pulau kecil yang dikepung oleh laut, diikat dermaga-dermaga kapal bersahut ramahnya deburan ombak di penghujung musim semi. Bebatuan kapur yang keras bersimpul gersangnya terik matahari, begitu tampak seperti kepulan asap halus dan tipis mengambang. Tanahnya keras tak sanggup memberi hidup bagi sebatang pohon rambutan. Namun, lihat di sana tak jauh dari pelupuk mata ada satu negeri, sebuah daratan makmur berjarak sejengkal saja dari pijakan kaki. Kira-kira begitulah, persis sama seperti prasangkaku sebelum tiba di pulau kecil ini—mungkin sebut saja Pulau Batu Ampar. Di tengah rasa gusar yang melikat, ada atau tanpa uang di saku, kala cemberut mulai menarik sisi mulut. Kau tau—terkadang ketidakmampuan dan keburukan merundung dari arah yang sama. Saat itulah sejenak aku menepi ke sempadan Sei Ladi, membawa sejumput harapan. Harapan usang bagai mengunyah papaver tanpa henti. Setiap kebutuhan melahirkan penciptaan, entah, semakin aku mengunyahnya semakin pula masuk lebih jauh lagi ke dalam labirin. Labirin rapuh yang di setiap sudut lembabnya penuh dengan dinding ratapan. Sudah enam bulan adalah perjuangan, upaya mengatup samar kesia-siaan menjaring angin. Terkadang berdiam diri di samping surau yang berdekatan dengan rumah tanpa satu pun hiasan dinding itu merupakan cara mengurangi kemurungan. Begitulah, sembari mengingat gurauan Darmini dulu; sekalipun perkara kematian itu tiba, kesialan yang menimpa mesti berlanjut. Akhirnya hanya kicauan burung kedasih yang menjadi teman si lelaki paruh baya. Kini, ucapan Darmini itu pun seolah-olah menjadi nyata, menimpa si mata juling ini. Apa kesialan paling buruk yang menimpa lelaki ini hingga sebegitu muramnya? Pertanyaan itupun terlontar begitu saja dari pikiran. Akan tetapi, jawabannya nihil, tak kunjung timbul.
Suatu hari Darmini pergi menemui kawan
lamanya, Tarmini. Seorang lelaki lajang dengan penglihatan yang perlahan
memudar turut digerogoti penyakit Tuberculosis, buah hasil dulu saat masih
menyelam. Kabarnya, dia baru saja dipaksa berhenti dari pekerjaannya, juragan
jukung enggan memberi upah kepada tenaga yang tak lagi mampu mengimbangi para
pekerja muda. Selain itu, dirinya ditolak di sana-sini ketika meminta kerja,
bahkan galangan kapal di dekat dermaga tempat biasa bersandar saja tak sudi
menerimanya sebagai buruh kasar. Di saat
bersamaan sang istri beserta keempat anaknya pergi meninggalkan tanpa secuil alasan
apapun. Sungguh, kesialan hidup seorang lelaki yang ditelantarkan Tuhan dan
manusia. Sebuah kesialan yang mesti ia tanggung sekaligus. Tentu semakin
bertambah usia, semakin pula manusia menolak suatu perubahan mendadak. Namun, kehendak tersebut tidaklah berlaku, ia
dipaksa menerima nasib yang terlanjur berdentam
keras. Seperempat jam tanpa mengatakan apa-apa. Darmini berdiri sambil menepuk
pundak Tarmini yang gemetaran.
“Bandul pendulum telah berayun, aku harap kau tidak bertambah gusar, bukankah tidak elok berlarut-larut tanpa keterarahan?”
“Yah,” jawab Tarmini memberengut. “Asal kau tahu saja, upahku memang tidak seberapa—sebulan nilainya masih dapat terhitung jari, tapi tidakkah cukup untuknya bersabar sebentar, lagi pula aku tidak seberuntung mereka yang bermalas-malasan.”
Darmini menatap melas, mengabaikan gerutuan Tarmini yang tenggelam bersama batuk-batuknya yang begitu parau mirip dengkuran kodok di tengah malam. Rahang mulutnya kerap kepayahan, mengatup rapat setiap batuknya itu datang menyerang. Dengan sesekali meludah ke sembarang tempat, seolah memuntahkan endapan yang tersendat dari dalam dada.
Terbesit perasaan sesal, semestinya hari ini akan terasa jauh lebih baik seandainya ketika dulu dirinya tidak mengambil jalan pintas. Celaka, pikiran senonohnya selalu lebih dominan mengambil jatah dari keseluruhan otaknya. Ia gelagapan ketika mendengar perempuannya itu akan dijodohkan dengan yang lain.
Selalu dan berulang-ulang di antara cerita asmaradahana acapkali kebodohanlah yang tercipta. Ya, benar seperti yang telah ia dengar dari seseorang yang ditemuinya “Mungkin, menghamili adalah cara singkat agar kau dapatkan perempuanmu itu.” Rupanya, Tarmini pun satu tarikan napas dengan itu, sepintas berjalan mulus, ciuman di belakang telinga adalah awal dari kengerian yang mencengkeram perempuannya dan kenikmatannya lengkap sudah hingga mengekor empat bocah beringus. Dalam ketergesa-gesaan dirinya tidak berpikir panjang, mengira kepemilikan adalah segalanya, otaknya terlalu tumpul hanya sekadar menerka, “Bagaimana nanti?” Alat kelaminnya tak punya kendali penuh, seolah-olah kegiatannya hanya beranak pinak. Akhirnya, ketika tidak cukup makan, mereka hanya mampu mengomel-omel bagai anjing terpanggang ekor.
Paling tidak hingga sekarang Tarmini masih merasa beruntung, sebab perut kempisnya itu belum sampai terpaksa menyantap sisa-sisa makanan orang sekitar.
“Oh satu lagi, justru kehilangan perempuanmu adalah cara mengamankannya dari kesengsaraan, sepertinya sudah waktunya aku pergi,” kata Darmini sembari mengajak, “Ah, datanglah esok atau lusa. Itupun jika hatimu sudah terasa membaik, seperti biasa di warung Mbah Khora.”
Tarmini hanya menoleh suram, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, kembali terbenam pada kesunyian di antara langit yang berisik.
Posting Komentar