Menyemai untuk Membuang [PUISI]



Oleh Muhammad Dwiansyah Damaik


“Memang bukan hari-Nya. Namun, setiap hari adalah Dia.”

Hari ini adalah hari yang biasa, hari di mana kita menghabiskan sebatang rokok dan kopi dalam obrolan, bahasa-bahasa yang dilahirkan dari rahim sebuah tindakan kekerasan bahkan sebelum halal sudah dilakukan, kita bukan manusia bukan pula binatang-binatang yang disayang dan dibina, kita hanyalah kumpulan yang terbuang dari segala golongan yang enggan bersemayam di malam-malam tanpa kasih serta sayang.

Wahai Engkau yang tiada lain tempat persembahan, lalu doa-doa dilayangkan pada-Mu tiada yang pantas selain Engkau tempatku berteduh dan mengadu akan segala kegelisahan jiwa yang bersenandung kekeringan kurang belai dan ciuman, tetapi engkau tetaplah setia karena Engkau Maha Segala-galanya. Kami terlahir dengan cacian diiringi hujatan tajam menusuk jiwa yang lembut sehingga berubah menjadi keras, tajam, dan kasar.

Setiap sudut bumi menjadi hitam kelam lanjut diiringi doa-doa yang haus akan kekuasaan seperti peristiwa-peristiwa genosida di Afrika sana, kami berjalan dengan rasa takut di genggaman, kami berbicara dengan rasa bersalah yang mendalam sekali lagi kami yang tak diinginkan hadir dalam kehidupan. Berbayang nestapa berwajah durjana berpenampilan dewa. Selang peristiwa hilang tanpa jejak, ramai berita sebagai pewara keselamatan.

Wahai Engkau tempat kami bersujud tiada lain yang kami sembah walau kadang kulupa Engkaulah yang memberikan izin atas segalanya dan kadang kami bertanya memangapa Kau diam tak memberikan tanda-tanda untuk orang-orang yang bermadu kasih di bawah penderitaan yang lain. Memang tak layak sebuah apresiasi Kau beri bagi mereka yang hanya berbuat taat pada-Mu, sejujurnya aku sepakat dengan-Mu yang memberikan mereka kebahagiaan dengan segala jalan, bukankah Kau sendiri yang berkata bahwa kita harus berusaha.

Jalan masih panjang, tetapi kita dipaksa untuk bertemu dengan kejanggalan, kami dipaksa berbicara, tetapi tidak untuk bersuara, kami diminta untuk berjalan, tetapi tidak untuk berpindah. Kita adalah hamba-hamba yang disemai lalu dibuang. Dikasihi namun tanpa rasa sayang, dibina lalu dibinasakan. Layak untuk kami yang memang dibentuk untuk disamakan. Kami bukan tuan apalagi pemangku jabatan. Kami hanya gembala ternak untuk diarahkan ke mana tujuan adalah bukan keinginan.

Sialan! Apakah sudah takdir-Mu yang coba membiarkan kami dengan tanpa ragu menjalani ini. Seakan esensi kehidupan telah lari, kami bertanya apakah kami hamba-Mu, Tuhan-ku. Ataukah kami yang tidak sengaja terlahirkan di bumi-Mu, atau kami yang sebagian ini ditakdirkan untuk menanggung pedihnya dosa Adam. Kembali kami bertanya siapakah kami ini, menagapa kami diminta untuk bersama bercita-cita namun di ujung pemakaman kami yang dikuburkan.

Asmara tumbuh lalu terbunuh, berjiwa rapuh beratap tangis yang mendalam. Sayang, apakah Kau tak mau menciumku dengan nafsu yang Kau pendam selama dua dekade tertahan. Apakah Kau lebih bernafsu untuk mencumbuku di hadapan hamba-hamba lainya. Ingat, Kasih, itu adalah tindakan memalukan. Bukan aku tak mau. Membayangkan tubuh-Mu yang aduhai dengan bibir merah merona, aku berharap terlahir benih lendir sang surga.

Bibit yang terlahir tidak diharapkan, sebelum lahir digugurkan. Sekalipun terpaksa lahir, sudah pasti tak memiliki kehidupan. Hidup bebas, tetapi terbatasi. Aku menganjurkan lebih asyik dipenjara daripada bebas dan ditipu untuk masuk sekolah, tempat pembodohan sesungguhnya.

Wahai Engkau pemilik kami, aku kembali mengadu akan nasib yang telah kujalani, kisah yang pedih untuk diceritakan, tetapi tangis selalu tertutup oleh senyuman. Pemilikku, pemiliknya dan pemilik kita semua, kami sadari semua adalah titipan. Titpan yang kami genggam lalu darah-darah itu mengalir deras.

Darah-darah yang mereka minum pelunas dahaga yang memanggil jiwa-jiwa ganas seperti singa lapar melihat domba-domba berjalan. Ke mana Engkau yang melihat anak-anak palestin itu dimangsa, dan para Yahudi itu berdansa di atas tanah yang mengantarkan nabiku ke tempat-Mu. Kau diam saja, tetapi aku tahu Kau adalah yang tahu segalanya, tak layak aku bertanya tentang segala tumpah darah yang ada.

Kau ciptakan kami di bumi-Mu dengan segala konspirasi dan persengkongkolan yang membuat setan jadi kambing hitam. Aku sedikit keras mengkritik ajaran yang berbicara ada makhluk-Mu yang tak berguna dan sekadar penghasut karena Adam telah tercipta, konspirasi yang menjelma sebagai kebenaran tak masuk di akal nalarku yang tak mampu melegalkan cerita-cerita pendongeng itu.

Wahai engkau tempatku kembali, maafkan aku bertanya seperti ini. Aku bukan hambamu yang patuh dan mampu menjelma seperti mereka yang bercerita tentang keadilan, malah kadang aku risi mereka memaksaku untuk mengenal halal-haram seakan aku berteman harus berjauhan. Hatiku berkata, bukankah semua ciptaan-Mu.

Jiwa-jiwa memberontak namun terhalang norma yang lahir di kehidupan, memaksa kami tunduk pada kekuasaan fana, kami terlahir sekali lagi dengan tangis kencang penyesalan. Sesak, pengap, asma, ispa, semua kuperiksa ternyata bukan sakit, aku menderita. Penderitaan yang kami resapi hingga bahagia terlihat dari tawa yang ikhlas akan sakit yang dialami. Kami adalah bagian-bagian penderitaan itu sehingga penjelasanku mampu kau rasakan. Tangismu melukai berderai menetes kian perlahan menajdi rintikan hujan, air sungai mengalir jadilah lautan.

Sungai surga-Mu bocor lalu menetes dibarengi tumpahan lahar panas dari neraka-Mu, aku bingung mengartikanya. Engkau beri berkah sekaligus dengan hukuman, tetapi, sekali lagi, Kau tak menghukum mereka. Lagi-lagi aku kembali menepuk kepala. Memang benar kau adalah yang Maha Tahu segalanya. Maafkan aku wahai Engkau yang kusembah, aku kembali memaksa untuk mempertanyakan kebijakanmu.

Kau bisa menjadi hakim, bisa pula menjadi penuntut jaksa, karena Kau Maha Segalanya. Aku yang tak bisa apa-apa meminta untuk uluran kepercayaan dari-Mu agar aku tidak kembali menjadi debu. Aku tak bisa menjadi kaya-miskin saja sudah bahagia. Engkau yang kami sucikan di setiap embusan napas kami. Turunlah dari kayangan yang Kau janjikan pada kami. Coba kau tiru Robinhood atau Sunan Kalijaga bertempur dengan kotor, tetapi bersifat mulia. Aku yakin mutiara tidak akan pernah berubah walau di dalam lautan sampah, bahkan debu akan menjadi permata, pasir pun akan menjadi mutiara.

Kini kita tersadar apa maksud-Mu yang tahu segalanya dan maha segala-galanya. Aku tak mampu menerka-Mu, aku tak mampu menjamah-Mu, aku terbelenggu. Aku memohon ampun atas segala caraku yang membuat segala dosa dalam lantunan kata-kata ini, aku yang fana mencoba menerka dari Kau yang maha nyata.

Post a Comment